15

1.7K 339 11
                                    

Hari masih sore ketika ia melangkahkan kakinya di depan gerbang Grand Adam Garden. Tanpa diantar mobil jemputan, Sri harus berjalan kaki lumayan jauh dari jalan raya yang dilewati bus kota. Pakaiannya terasa lengket karena basah oleh keringat. Ia tidak terlalu peduli, toh ia juga tidak ingin memakai seragam itu lagi. Entah apa yang akan terjadi kepadanya setelah berhenti kerja. Ia tidak mau memikirkan itu sekarang.

Ia berjalan melewati pos satpam. Dua orang satpam tampak sedang memandanginya dengan curiga. Ia tak kenal mereka. Tampaknya mereka bukan berasal dari wilayah sini. Sepertinya sudah ada pihak lain yang menangani masalah keamanan di perumahan itu sekarang.

Sri tersenyum kepada mereka, meskipun sebenarnya ia sedang tidak ingin tersenyum.

"Siang, Bu!" ucap salah seorang satpam berkulit gelap yang tampak lebih kekar daripada Mas Wawan. Tangannya diangkat ke atas, seperti sedang memberi hormat singkat. Sri melihat nama yang tertulis di seragamnya: Subagio.

"Siang, Pak," jawab Sri. Ia mengangguk dan berniat untuk segera pergi. Kondisi perasaannya membuat ia tidak ingin mengobrol dengan siapa-siapa, apalagi orang yang belum dikenalnya.

"Tunggu sebentar, Bu. Boleh lihat tanda pengenalnya?" ucap satpam satunya lagi yang berkulit lebih cerah dan berpostur lebih tinggi. Namanya Darmawan. Ia menghampiri Sri, seolah ingin menghalangi Sri yang hampir masuk melewati gerbang.

"Tanda pengenal?" tanya Sri.

Kedua satpam itu saling pandang, kemudian Subagio menghela napas.

"KTP saja, Bu." Kata Subagio.

Sri mengeluarkan dompet dari dalam tasnya, kemudian dengan susah payah ia mencari KTP-nya di antara tumpukan uang receh dan struk belanja. Setelah berhasil menemukannya, ia menemukan kartu elektronik itu kepada Subagio. Laki-laki itu memperhatikan KTP, kemudian mencocokkan foto yang ada di kartu itu dan wajah Sri. Sri tersenyum, kali ini mencoba meniru senyum di foto KTP-nya. Ia ingat bahwa foto di KTP itu adalah foto senyum lelah, kira-kira tak jauh berbeda dengan keadaannya sekarang. Waktu itu sebenarnya ia telah berdandan rapi dan mempersiapkan senyum terbaik karena ia mendengar bahwa KTP elektronik akan berlaku seumur hidup. Namun setelah tiga jam mengantre di kantor kelurahan, semua usahanya itu sia-sia.

"Ibu bukan penghuni perumahan, kan?" tanyanya.

"Bukan, Pak. Saya cuma numpang lewat, rumah saya di sebelah," jawab Sri. "Saya kenal sama Mas Wawan yang sebelumnya kerja di sini."

Kedua satpam itu tak menunjukkan ekspresi apa-apa saat mendengar nama Wawan. Mungkin mereka memang tak mengenalnya atau bahkan tak pernah bertemu dengannya.

"Mulai besok, Ibu nggak boleh lewat sini lagi, ya!" ucap Darmawan dengan intonasi yang berusaha ditegas-tegaskan.

"Lho, kenapa?" tanya Sri.

"Jalan tembusnya mau ditutup pakai beton. Soalnya banyak kriminal. Ibu pasti udah tahu, kan?" ucap Darmawan, kemudian mengembalikan KTP Sri.

Ada perasaan kesal dan tersinggung di dalam dada Sri. Kedua orang baru ini menatapnya dengan penuh curiga, bahkan tak ada senyum ramah sedikit pun di bibir mereka. Apakah karena penampilannya yang tidak meyakinkan? Mereka tidak tahu, kalau saja ia mengenakan pakaian dan dandanan seperti saat ia membolos kerja waktu itu, mereka pasti tidak akan bisa membedakan dirinya dengan nona-nona penghuni perumahan. Namun, di sisi lain Sri juga memaklumi. Tekanan yang mereka rasakan sebagai petugas baru pasti sangat berat. Seluruh masyarakat, kepolisian, dan media massa memperhatikan mereka. Tidak hanya itu, nyawa mereka juga dalam ancaman demi menjalani pekerjaan ini.

"Jadi, sekarang saya nggak boleh lewat sini? Saya lewat jalan lain?" tanya Sri. Ia tidak bermaksud sinis, tapi emosinya memengaruhi nada suaranya.

Darmawan dan Subagio terdiam selama beberapa saat. Mungkin mereka sedang berpikir. Subagio tiba-tiba tersenyum, meski senyum itu sangat tipis dan nyaris tak terlihat. Mungkin ia begitu berat mengangkat sudut-sudut bibirnya.

Pertanyaan Paling AnehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang