13

1.9K 347 39
                                    

Pagi ini, mata Sri terasa perih dan perutnya keroncongan. Saat membuka mata, ia langsung menghirup aroma teh hangat yang tersaji di samping tempat tidurnya. Sangat wangi. Wangi ini berbeda dengan teh celup yang biasa ia minum. Ketika ia melihat meja di sebelah tempat tidurnya, ia melihat secangkir teh hangat dan sepotong roti sandwhich yang sudah tersaji di atas piring.

Biasanya sarapan semacam itu memang bukan tipenya. Biasanya ia lebih merindukan sepiring nasi uduk atau lontong sayur. Namun pagi ini berbeda. Mungkin pengaruh perutnya yang lapar atau mungkin pengaruh dari aroma teh itu, tapi rasanya sepotong sandwhich itu benar-benar menggugah selera makannya

Ia menyeruput teh, kemudian menggigit sandwhich berisi tumpukan daging, keju, dan sayuran. Baru kali ini ia benar-benar bisa menikmati sarapan ala sinetron itu. Ternyata tak kalah lezat dari lontong sayur Teh Jum di perempatan. Berbeda jenis lezatnya, tapi tetap saja terasa lezat.

Saat ia sedang asyik menikmati sarapan, tiba-tiba saja matanya baru melihat posisi jarum jam pada jam dindingnya. Jarum pendek sudah menunjukkan angka enam, jarum panjang berada di angka empat. Sekarang adalah hari Senin.

Sri nyaris tersedak, tapi ia segera meminum tehnya. Ia segera bangkit berdiri dari atas kasurnya, tapi tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing. Sambil mengerang, ia kembali terduduk dan memijat-mijat keningnya.

Terlambat sudah. Alasan apa yang akan ia berikan kepada atasannya? Sempat terbersit dalam benaknya untuk tidak usah masuk kerja saja. Ia bisa berpura-pura sakit. Namun, ia tak cukup berani untuk menelepon Pak Gema dan berakting batuk atau pergi ke klinik dan meminta surat dokter meski dokter tak menyatakannya sakit. Lagipula, ia tak ingin sampai kehilangan pekerjaan ini. Ia tidak tahu apa pekerjaan Aji sekarang dan sampai kapan ia bisa menafkahinya dengan sumber penghasilan yang tak jelas itu.

Tanpa sempat menghabiskan roti isi dan teh hangatnya, ia segera mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Ia berharap akan menemukan alasan yang tepat mengapa ia datang terlambat. Dalam benaknya, ia sudah bisa membayangkan wajah Pak Gema yang ketus itu. Tidak hanya ketus, pikirnya. Bosnya itu juga laki-laki brengsek. Kalau bukan karena terpaksa, ia sudah ingin berhenti dari pekerjaan itu.

Sri mengenakan pakaian seragam dengan terburu-buru hingga ia dua kali salah memasang kancing. Ia tak melihat Aji. Ia yakin, Aji-lah yang telah menyiapkan sarapannya. Kalau bisa, ia berharap Aji akan terus seperti itu, terus menjadi suami yang manis dan pengertian, meskipun kadang-kadang bertingkah aneh. Ia tahu, keinginan ini terdengar kurang normal, tapi ia benar-benar menginginkannya.

Sebelum keluar kamar, ia sempat mengambil tas dan memeriksa ponselnya. Ada dua panggilan tak terjawab dari Tia. Ia membayangkan bahwa Tia sempat meminta sopir mobil jemputan untuk menunggunya datang sambil meneleponnya dengan cemas. Namun karena tak ada jawaban, mereka pun akhirnya pergi.

Sri berlari ke halaman depan. Tak ada pilihan lain, ia harus menggunakan bus umum. Emosinya sedikit memuncak ketika membayangkan kemacetan lalu lintas yang sudah pasti akan menghimpitnya. Namun, ketika membuka pintu pagar rumahnya, kepanikannya itu berubah menjadi kebingungan. Ia melihat seorang pria yang mengenakan helm full face, jaket kulit warna hitam, dan menunggangi sebuah sepeda motor besar yang sudah dinyalakan. Laki-laki itu menatap ke arah Sri sambil memainkan gas sepeda motor itu berkali-kali.

"Sini, naik!" ujarnya sambil menunjuk jok belakang sepeda motor mengunakan dagunya.

Sri masih tak mengerti. Ia melongo memandangi pemandangan yang aneh itu. Ia hampir saja tidak mengenali laki-laki itu, seandainya ia tak segera membuka kaca helmnya. Itu suaminya. Ingatannya terlempar ke masa lalunya pada masa model sepeda motor itu masih menjadi sesuatu yang ngetren. Semua cowok keren dan gaul mengendarainya, dan semua cewek keren dan gaul diboncenginya.

Pertanyaan Paling AnehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang