17

34 11 0
                                    

"Lagipula, hantu itu belum pergi dari pelupuk matamu, bukan?" Senyum Eunha menipis, sedih. Jungkook segera menoleh menghadapnya untuk menimpali.

"Walaupun begitu, mengasarimu tanpa alasan—"

Tiba-tiba, Jungkook terkesiap dan terjajar mundur sampai hampir terjengkang. Eunha ikut kaget, tetapi setelah beberapa saat mempelajari reaksi Jungkook, ia mengerti. 'Hantu di pelupuk mata' yang ia maksud sebelumnya pasti berulah lagi. Sekali lagi, Eunha menguji tebakannya.

"Menurut penglihatanmu," Eunha menatap Jungkook lurus-lurus, "siapa aku sekarang? Diriku sendiri—atau 'perempuan itu'?"

Anak mata Jungkook bergetar, seakan dipaksa untuk mengunci pandangan dengan orang di hadapan, tetapi pada saat bersamaan ingin melarikan diri darinya. Pria itu akhirnya menyerah; ia melempar pandangan ke rerumputan di halamannya. Pertanyaan Eunha pun terjawab tanpa sepatah kata.

"Kau tidak 'mengasariku tanpa alasan', Jungkook-ah. Kita masih sering saling takut, yang memicu kita untuk menyelamatkan diri dari satu sama lain. Seperti aku yang diam karena takut kaumarahi, kau bersikap dingin dan menghindariku karena takut juga. Takut pada 'perempuan itu', takut aku sakit, takut Jungha sakit ...." Ujung kaki Eunha yang berbalut sandal jerami menggesek-gesek acak tanah di bawah serambi. "Begitu banyak ketakutan, tetapi yang penting, kita sudah berusaha sebaik mungkin untuk menghadapinya."

"Tapi harusnya tidak begini," sahut Jungkook gusar. Eunha tahu kegusaran itu tertuju pada diri si pengucap sendiri. "Yugyeom bilang bayangan itu akan hilang jika aku berusaha keras melupakan kejadian-kejadian di Daemado."

"Sebuah kenangan mustahil dihilangkan begitu saja. Kukira yang tepat adalah: kau harus melanjutkan hidup dengan ingatan itu tanpa terganggu. Yang demikian tentu tidak akan serta-merta tercapai. Kita baru membicarakan Daemado bersama kemarin, bukan?" Eunha tertawa lembut. "Masih ada banyak waktu, lagipula ada niat berjuang saja sudah bagus."

Jeda. Eunha melepaskan gulungan goreum hingga pita bajunya itu menjuntai, hanya untuk menggulung dan menjuntaikannya kembali beberapa kali. Meski terlihat melakukan sesuatu yang tidak berarti, sebenarnya pikiran Eunha penuh. Pembicaraan yang Jungkook mulai bisa menjadi jalannya untuk berbicara tentang Sanshin, tetapi ia sadar bahwa dengan itu, rahasia besarnya akan terbongkar.

Kalau Jungkook tahu aku mendaki nyaris setiap hari buat memenuhi permintaan Tabib Kim yang aneh dan membahayakan Jungha, jangan-jangan dia akan menghukumku?

Tangan kiri Jungkook tahu-tahu memasuki lapang pandang Eunha yang sedari tadi tertunduk. Tangan yang dingin dan lembap itu meraih tangan kanan Eunha, lalu mengangkatnya dari pangkuan. Eunha tidak menyangka punggung tangannya kemudian dicium dengan begitu takzim oleh Jungkook. Pria itu memejam perlahan, tampak menikmati kehangatan dari tangan Eunha yang menjalari bibirnya. Bibir itu terangkat sebentar sebelum mengecup singkat titik yang lain.

Eunha berjengit, gemetar, terharu, juga berdebar-debar. Ia bingung harus bersikap bagaimana hingga Jungkook berbisik dengan mata menerawang jauh.

"Kau begitu baik padaku. Aku menyayangimu, sangat menyayangimu, tetapi memang seharusnya kau mendapatkan lelaki yang lebih baik ...."

Tangan yang tadinya digenggam, kini balik menggenggam. Ucapan Jungkook bagai lecutan yang menyadarkan Eunha dari gelenyar kenikmatan yang meleburkan barusan.

"Lelaki yang lebih baik itu tetap dirimu—setelah bayang-bayang itu pergi," ujar Eunha mantap. "Itulah mengapa kita jadi suami-istri: bukan hanya untuk menikmati kegembiraan bersama, tetapi juga menghadapi kesulitan bersama. Jika ingin mendapatkan dirimu yang lebih baik, aku—kita—harus berusaha sekuat tenaga."

Akhirnya, akhirnya, Jungkook menoleh lagi kepada Eunha setelah sekian lama pembicaraan berlangsung. Di matanya tak tersirat sedikit pun ketakutan, hanya linangan tipis air mata yang tak menetes. Entah bagaimana, Eunha yakin bahwa itu adalah pertanda baik.

Tiger's Whisker ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang