9

73 15 2
                                    

"Jangan membicarakan pernikahan di depanku," gumam Sanshin.

Eunha menutup mulutnya dengan tangan, nyaris bertanya mengapa, tetapi takut salah bicara.

Bodoh, harimau kan tidak menikah. Diam-diam Eunha memukul kepalanya sendiri. Walaupun begitu, mengapa Sanshin-nim seolah punya kenangan buruk tentang pernikahan? Masa Sanshin-nim diselingkuhi oleh pejantan yang dicintainya? Atau Sanshin-nim ditinggal karena tidak bisa punya anak? Oh, benar, Sanshin-nim kan dewa, mungkin tidak bisa menikah dengan harimau biasa—astaga, cinta terlarang?!

"Aku tidak tahu mengapa matamu berkaca-kaca saat menatapku," ucap Sanshin, "tetapi kok mengesalkan, ya?"

***

Di luar kebenciannya pada bahasan pernikahan, Sanshin ternyata dewa yang rendah hati. Bagaimana tidak? Eunha ia bolehkan menunggangi punggungnya untuk turun gunung sehingga tidak membuang banyak tenaga maupun membahayakan si janin. Saat Eunha tanpa sungkan-sungkan bertanya apa dia boleh menunggang lagi lain hari, Sanshin tidak keberatan—dan Eunha langsung memeluk 'nenek-nenek' itu. Tentu saja Sanshin yang jengah langsung meraung untuk menjauhkan si ibu hamil darinya.

"Jangan lupa jalankan rencanamu dan lindungi bayimu."

Demikianlah pesan Sanshin sebelum kembali mendaki, meninggalkan kawannya—atau 'cucunya'—di ambang desa. Menghargai pertolongan Sanshin, Eunha pun dengan patuh menjalankan perintah. Ia lebih berhati-hati setiap mengerjakan pekerjaan rumah agar bayinya tidak tersenggol, mengajak janinnya mengobrol saat sedang istirahat, lalu berusaha untuk membelai Jungkook sebelum tidur. Yang terakhir itu masuk dalam 'rencana penjinakan Jungkook'—yang sayangnya kurang mulus.

"Jangan menyentuhku!" Jungkook menepis tangan Eunha untuk kesekian kali sebelum ubun-ubunnya tersentuh. "Apa-apaan, sih, kau?"

Eunha mengusap-usap punggung tangannya yang memerah dan agak perih. Hatinya tentu saja perih juga, tetapi tidak terlalu parah karena dia sudah mengira ini tak akan lancar.

"Jungkook-ah, hari ini Jungha jarang menendang karena banyak kuelus." Eunha tersenyum, percaya diri akan rencananya. "Harusnya kalau kuelus, kau juga akan jadi jarang memukul, kan?"

"Siapa Jungha?" Jungkook mengernyit.

Eunha melengkungkan punggungnya ke depan sehingga perutnya tampak lebih buncit, lalu menggoyang-goyangkan perut itu pelan. "Dia! Aku beri nama Jungha, dari Jungkook dan Eunha! Bisa untuk anak lelaki dan perempuan, lo. Aku sangat pintar, kan?"

"Ha? Nama macam apa itu? Selain itu, apa kau barusan menyamakanku dengan janin?!" Jungkook menaikkan selimut dan memunggungi Eunha. "Dasar konyol!"

Meski cemberut, Eunha masih belum menyerah. Ia masuk ke dalam selimut yang sama dengan Jungkook, lalu berbaring menghadap punggung Jungkook dengan mata terbuka, mengamati. Napas pria itu pelan dan teratur, pasti sudah di ambang tertidur. Eunha tidak membuang kesempatan itu untuk membelai pundak Jungkook.

Sayang sekali, pundak yang Eunha belai langsung tegang dan pemiliknya berdecak. Jungkook sudah menoleh ke belakang dengan jengkel, hendak menyembur Eunha. Namun, bahkan dengan ancaman seperti itu, tangan Eunha tidak meninggalkan pundak Jungkook. Matanya yang bulat jernih menatap Jungkook lembut dan bibir kecilnya berbisik.

"Kerja bagus hari ini, Jungkook. Aku dan Jungha selalu berterima kasih padamu."

Dari celah bilik, cahaya bulan menembus kamar dan jatuh di mata Jungkook yang susah dibaca. Alih-alih menegur istrinya, Jungkook dalam diam terus memandangi Eunha—yang balik menatapnya pula. Keheningan itu dipecah oleh Jungkook yang—sekali lagi—memunggungi Eunha dan menaikkan selimut dengan berisik, padahal tangan Eunha masih melekati bahunya yang tegang.

Tiger's Whisker ✅Where stories live. Discover now