13

47 12 0
                                    

Perut Eunha masih sakit ketika berjalan di tengah sebuah hutan malam itu. Hutan tersebut jelas bukan hutan di kaki bukit yang biasa dijelajahinya—atau mungkin itu tempat yang sama, hanya tampak berbeda karena Eunha tidak pernah mengunjunginya setelah gelap. Satu tangan Eunha berpegangan dari pokok ke pokok, sedangkan tangan lainnya memegangi perut yang sebentar-sebentar tegang. Entah bagaimana ia tiba di sini, yang jelas firasat Eunha buruk.

Rasa mulas ini—apa aku akan melahirkan? Kalau begitu, aku harus segera mencari orang untuk menolongku!

Sanggul Eunha berantakan; meskipun tusuk konde masih terpasang, helai-helai liar telah lepas dari sana, berebut menempeli sisi wajah yang dibasahi peluh. Mulasnya bukan makin reda malah makin menjadi. Eunha berdebar-debar; melahirkan sendirian di tengah hutan tempat tinggal binatang buas merupakan hal terakhir yang ia inginkan.

Dari kejauhan, Eunha menemukan setitik cahaya. Titik kecil itulah yang dijadikannya tuntunan keluar hutan. Ia yakin sinar jingga itu berasal dari api, yang kemungkinannya dua: pemukiman atau perkemahan.

Semakin dekat, Eunha bisa melihat tenda. Ia mempercepat jalannya sambil memicing, mencoba menangkap lebih jelas wilayah yang bisa jadi adalah sebuah perkemahan itu, tetapi langsung terpaku begitu mendengar gelegar peringatan seorang pria.

"Prajurit Kim Yugyeom telah melakukan desersi dua kali dan melanggar perintah strategis tiga kali. Karena peringatan-peringatan kami tidak mempan, hukuman yang lebih berat akan diberikan."

Entah milik siapa suara itu, tetapi Eunha takut dengannya, maka perempuan itu memilih bersembunyi ketimbang memasuki perkemahan. Sesenyap mungkin Eunha mengendap ke semak terdekat, lalu berlutut dan mengintip. Alangkah terkejutnya ia ketika menyaksikan Yugyeom dibekuk di depan sebaris petani kumal yang menyandang pedang di pinggang. Ada dua orang yang membekuk Yugyeom; salah satunya membuat Eunha menutup mulut dengan telapak tangan.

Jungkook? Apa yang kaulakukan pada sahabatmu sendiri?

"Bunuh aku!" Yugyeom meronta; suaranya menyayat hati Eunha. "Bunuh aku saja, jangan istriku!"

Eunha terperanjat. Anak matanya bergeser ke orang lain yang diikat dengan mata tertutup dan mulut tersumpal kain di depan Yugyeom.

"Para prajurit yang dengan sengaja melawan perintah tidak akan menanggung hukuman seorang diri," kata laki-laki berbadan besar yang duduk di antara Yugyeom dan perempuan yang terikat—Haseul. Suara lelaki itulah yang tadi sempat menakutkan Eunha. "Kau pasti siap menanggung akibat perbuatanmu saat memutuskan memberontak, kan?"

Laki-laki berbadan besar menghunus pedang, tetapi alih-alih berjalan kepada Yugyeom, ia mendekati Haseul yang terus memekik di balik bekapan. Yugyeom semakin liar, berusaha mencapai istrinya, tetapi tentara-tentara yang membekuknya—termasuk Jungkook—tidak menampakkan simpati sama sekali.

Ujung pedang laki-laki berbadan besar terarah ke punggung Haseul, siap ditusukkan. Rasa mulas Eunha mencapai puncak, seakan naik ke dada, menyesakkannya. Jika tidak bertindak sekarang, ia mungkin akan kehilangan Haseul selamanya.

"Jangan bunuh Haseul-eonni!"

Semua pasang mata di perkemahan, kecuali milik Haseul yang ditutup kain, terarah pada Eunha, kemudian waktu berhenti. Hanya Jungkook yang bergerak, melepaskan kuncian lengannya pada Yugyeom dan berlari pada sang istri dengan panik.

"Eunha, kau berdarah!"

Saat itulah, Eunha baru merasakan cairan yang mengalir dari selangkangannya, deras membasahi kedua tungkainya. Begitu menunduk, Eunha melihat kakinya telah terendam dalam genangan merah: ketuban bercampur darah.

Eunha menjerit. Perutnya seperti diperas dan diurut, nyeri sekali. Ketakutan hebat menitikkan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Entah yang mana dari ini semua yang akhirnya membuka mata perempuan itu—dalam kamarnya sendiri.

Tiger's Whisker ✅Where stories live. Discover now