16

35 11 0
                                    

"Kalau setuju, datanglah ke depan guaku berdua kapan pun. Akan kutunggu."

Harimau mestinya tak bisa tersenyum layaknya manusia, tetapi ketika memandang wajah Sanshin, Eunha merasa muka sang dewa gunung lebih berbinar, menimbulkan kesan riang yang sama dengan senyum manusia. Eunha cepat-cepat turun dari tunggul pohon untuk bersujud kepada Sanshin, setengah saja karena terhalang kandungannya.

"Terima kasih banyak, Sanshin-nim. Sungguh, saya tak tahu harus mengatakan apa lagi ...."

... dan karena ketidaktahuannya itu, pada akhirnya Eunha merangkul leher besar Sanshin, berharap rasa terima kasihnya yang besar tersampaikan. Kulit Sanshin sehangat manusia; rasanya jadi seperti merangkul teman wanita, ibu, atau nenek saja.

"Baiklah, cukup. Kau mencekikku, Nak." Ada tawa terselip dalam kalimat Sanshin. Eunha lekas menarik diri. "Jangan terburu-buru; rencanakan baik-baik hal ini berdua. Jaga kesehatanmu dan janinmu dengan berkasih-kasih sebanyak mungkin dengan suamimu. Aku sudah melemahkan sedikit roh jahat yang menempelinya, jadi pikirannya seharusnya tidak sekacau sebelumnya."

Eunha mengangguk; senyumnya tulus meskipun masih gemetar. Haseul ikut tersenyum saat kepala Eunha meninggalkan pundaknya, tampak lebih kuat dari sebelumnya. Ralat, sekuat sebelumnya, karena pada titik ini, siapa pun yang kenal dekat dengan Eunha—termasuk Sanshin—telah mengakui ketangguhannya. Eunha saja yang masih belum menyadari kekuatannya sendiri.

"Baik, Sanshin-nim. Terima ka—"

Kaki depan Sanshin tiba-tiba mendarat ke paha Eunha. Walaupun hanya sebelah, rasanya berat juga, seperti sedang ditepuk keras-keras.

"Berhenti bilang terima kasih. Aku melakukan apa yang seharusnya. Selain itu," Sanshin menurunkan tangannya begitu Eunha memohon-mohon sambil bergurau agar pahanya dibebaskan, "kalau mau berterima kasih, nanti ajak suamimu dan bayimu ke guaku. Aku mau lihat rupa anakmu setelah lahir."

Bahkan dalam kegelapan yang terpekat, Eunha bersyukur masih menemukan setitik cahaya dari ucapan Sanshin. Ia mengangguk kuat-kuat sampai Haseul bercanda: 'itu kepala bisa lepas nanti'.

"Jika Langit menakdirkan, hari di mana kami bertiga menemui Anda pasti akan tiba!"

***

"Gila, capek sekali! Badanku mau remuk rasanya!"

Keluhan Jungkook yang lantang tapi sumbang saat masuk rumah sekarang malah jadi hiburan buat Eunha. Suara itu mengirimkan getaran menyenangkan yang memaksa Eunha meninggalkan masakannya sejenak untuk menyambut Jungkook. Biasanya, jangankan berteriak, bunyi langkah kaki Jungkook saja tak terdengar hingga Eunha—yang seringnya berada di dapur saat Jungkook pulang—tidak menyadari kedatangannya.

"Sini, aku sayang biar tidak remuk lagi!" Tanpa malu-malu, Eunha mengecupi wajah Jungkook dan merentangkan tangan, hendak memeluk. Si pria langsung mendesis seperti kucing liar yang mau berkelahi, lalu mendorong dahi Eunha dengan telunjuk dan mencubit hidung perempuan itu.

"Aduh!"

"Baumu seperti cabai, aku bisa bersin-bersin. Kembalilah ke dapur atau kubersini kau."

Eunha mendengus saat berbalik, (sok) marah. "Ya sudah, kalau begitu kau makan tumis pakis saja nanti. Semur ayamnya akan kuhabiskan sendiri!"

"Hah? Kau masak semur ayam? Pantas baunya harum!" Jungkook—dengan wajah semringah yang aneh karena matanya masih bengkak menghitam—hendak pergi ke dapur. Eunha mencegatnya, menarik-narik lengannya seperti saat menghalangi Jungkook menyikat kue beras buatannya semasa kecil.

"Tidak ada semur ayam buat orang yang tidak mau dipeluk!"

"Tung—jangan tarik-tarik, Eunha, kau bisa jatuh!"

Tiger's Whisker ✅Where stories live. Discover now