3

65 16 0
                                    

Bagaimana ini?

Eunha bangkit perlahan-lahan, lalu berjalan mundur. Langkahnya menjadi lebih cepat ketika si harimau maju, mantap mendekatinya. Badan Eunha dengan segera menjadi dingin dan lembap. Kedua lengannya terlingkar di depan perut, seakan-akan dengan begitu bayinya bisa selamat meskipun ia diterkam.

Namun, barangkali teralih oleh aroma nasi kaldu, si harimau berbelok ke wadah yang tadi Eunha siapkan. Makhluk itu menutul wadah penasaran, tanpa sengaja menggulingkannya. Nasi yang berceceran dia endus-endus, lalu dimakannya dari tanah dengan lahap. Eunha terpana menyaksikan pemandangan yang janggal ini, di mana hewan yang amat ditakutinya ternyata takluk di hadapan nasi kuah kaldu.

Masih memeluk perutnya dengan satu tangan, Eunha menghampiri harimau yang sedang makan itu. Tangan yang lain disembunyikannya di balik punggung setelah mencabut belati dari pinggang. Si harimau tampak sangat menikmati makanannya sampai tidak beralih pada seseorang yang mengendap-endap, hendak memotong kumisnya.

Bagus, napas Eunha memburu oleh harapan dan ketakutan, aku bisa mendapatkan kumisnya dalam sehari!

"Gr."

Nasi di tanah tinggal sedikit ketika si harimau memutar kepala dan menggeram. Makhluk itu menatap Eunha yang kedua lengannya terulur, salah satunya memegang belati. Eunha membatu; diliriknya senjata yang berkilapan ditimpa cahaya matahari. Apakah sang harimau merasa terancam?

"Tolong jangan salah paham," cicit Eunha, tetapi tangannya yang memegang belati masih teracung. "Aku cuma mau memotong kumismu, kok. Aku tidak akan menyakitimu, benar. Kumohon jangan makan aku, kasihan anakku belum lahir."

Selama beberapa saat, Eunha benar-benar tidak bergerak hingga badannya pegal. Baru setelah si harimau kembali makan, si ibu muda dapat membuang napas. Ia menegakkan punggung, berbalik, dan meraih tongkat mendakinya secepat kukang, selincah orang mabuk. Belati yang urung digunakan disarungkannya kembali, sedangkan wadah nasi ia tinggalkan bersama si makhluk buas.

Terlalu cepat kalau mau memotong kumisnya sekarang. Eunha mengelus dada. Aku ketakutan sampai membeku tadi! Aku tidak boleh gegabah; hewan itu harus kujinakkan dulu benar-benar!

Sepanjang perjalanan pulang, Eunha sibuk memikirkan langkah berikutnya untuk mendekati sang dewa gunung. Sebagaimana waktu berangkat, ia banyak beristirahat sehingga perjalanannya menjadi lama. Matahari sudah rendah ketika ia memasuki area persawahan. Seketika ia teringat; ini lahan yang Jungkook garap.

Kalau Jungkook melihatku di sini, dia bisa curiga!

Buru-buru Eunha menikung ke samping salah satu gubuk untuk bersembunyi.

"Ya, Jungkook-ah, istirahat dulu sini!"

Suara sekeras itu, Eunha kenal betul, hanya Yugyeom yang punya. Baru selangkah, perempuan itu sudah tergoda untuk mengintip suaminya bekerja. Sejak hamil, Eunha dilarang bepergian jauh oleh Jungkook, padahal biasanya ia akan membantu di sawah atau setidaknya mengantar makan siang. Alhasil, ia lebih sering menenun sekarang. Lama tidak menemani Jungkook bertani ternyata membangkitkan kangen.

Dari samping gubuk tempatnya mengumpet, Eunha dapat melihat para petani—termasuk Yugyeom—duduk di tepi sawah sembari mengipas-ngipas badan yang berkeringat. Sementara itu, Jungkook seorang diri menenggelamkan kaki dalam lumpur, menanam benih tanpa bicara, menoleh, atau berhenti. Dulu, tanpa disuruh pun, ia akan minggir lebih awal hingga kadang dilempari lumpur oleh Yugyeom yang kesal ditinggal.

Jika kerja keras seperti ini yang menambah penghasilan mereka lebih dari sebelumnya, lebih baik Eunha gunakan uang itu untuk membayar kembalinya Jungkook yang ceria.

Tiger's Whisker ✅Where stories live. Discover now