BAB 9

445 105 14
                                    

Halo teman-teman!
Apa kabarnya hari ini?
Sudah siap baca Bulan Prasbiru lagi?!!!

Langsung saja, selamat membaca Bulan Prasbiru teman-teman !!


____

1.

Motor melaju dengan kecepatan sedang dan berhenti di sebuah jalan panjang yang menyimpan banyak pedagang di sepanjangnya. Pupa merangkulku dengan tangan kirinya membawakan belanjaan yang sempat kami beli di Mall Gatot Subroto. Kemudian, Pupa memesan dua jagung bakar, satu pedas untuknya dan yang tidak pedas untukku. Bisa dibilang, aku menuruni Buna karena ia pula sama sekali tidak menyukai pedas dalam bentuk makanan apapun.

Kami duduk di atas terpal biru menghadap raya untuk berbincang pada waktu yang semakin larut. Melihatnya kembali menyalakan sumbu rokok, rasanya duniaku benar-benar masih terlindungi. Ia masih bergegas mencari posisiku untuk ditemani sampai ujung perjalanan. Matanya yang menatap aspal, duduknya yang tenang, serta napasnya yang teratur berembus. Sedemikian ini, aku belum bisa menemukan tempat untuk melabuhkan hati pada yang lain.

Kalau dibilang mencari kesenangan dengan laki-laki seusiaku, mungkin belum ada jawabannya. Pupa masih jadi segalanya, karena, bersama dia aku merasa sangat tercukupi. Mulai dari bentuk perasaan, obrolan manis, hal-hal ringan yang lucu diperbincangkan atau mungkin jalan-jalan romantis. Kan sudah kubilang, bahwa aku pernah disewakan taman Kebun Raya Bogor hanya untuk aku menghayal ajdi seorang peri yang terdampar tiba-tiba. Lalu, bagaimana bisa aku merwasa sedih sedang selama aku bersamanya aku selalu dibuat senang?

"Kondisi Pupa akhir-akhir ini gimana?" tanyaku padanya.

"Jauh lebih baik dari hari sebelumnya. Kamu tahu, Kak, perawatnya sebawel apa," jawabnya sambil terkekeh pelan.

Aku senyum. "Harusnya aku yang bantu siapin obat-obatnya ya, Pa. Maaf, aku harus pamit gini." Nada bicaraku melesu.

Ia melempar puntung rokoknya lalu menekuk kakinya untuk menumpu dua lengannya. Kepalanya sedikit mendongak untuk menatap ke awan gelap. Entah seberat apa perasaanya malam itu sesampai diamnya membuatku gugup setengah mati.

"Dulu, pertengkaran antara Pupa sama Ayahmu itu hebat, Kak. Diluar dari kejadian kamu juga, Pupa sama Ayah memang sudah ada konflik berat yang sama-sama melukai. Marahnya Pupa ke Ayahmu itu kacau dan kayak keruh nggak ada celah maaf. Bahkan hari di mana Ayahmu mohon minta lihat kamu aja, Pupa masih nggak terima. Kayak, 'Anjing, bangsat tuh manusia'. Cuma, semakin waktu berjalan, Pupa lulus SMA, nempuh kuliah dan sibuk sama kerjaan yang numpuk buat biayain hidup kita, Pupa jadi semakin jarang meluangkan waktu untuk kumpul sama kawan-kawan. Kalau libur dan ada senggxang waktu, rasanya mau pulang aja ketemu kamu di kamar. Main boneka, main masak-masakan, baca dongeng, cerita-cerita. Makan malam juga maunya sa ma kamu. Kayaknya, satu jam nggak dengar suara kamu tuh, sepi ... banget."

"Sampai ada momen di mana Pupa tiba-tiba ngeposisiin diri. Seutuhnya, Pupa nggak mau kamu hilang dari kehidupan Pupa. Selamanya, selama-lamanya. Seerat itu Pupa sayang ke kamu, Kak. Trus, gimana sama Ayahmu? Ayah kandung kamu. Bagaimanapun, Ayahmu itu kawan Pupa juga, Kak. Pupa nggak boleh egois, harus bisa misahin antara hak dan berhak. Kalau dibilang Pupa hancur, tentu, Pupa hancur. Tapi Ayahmu? Apa dia nggak lebih merasa hancur ketika lihat anaknya sendiri hidupnya sama kawannya, bukan sama dia. Itu memang salahnya, tapi sekali lagi, Pupa nggak boleh egois."

Aku terpaku pada kalimatnya itu.

"Pupa udah janji sama diri sendiri kalau Pupa nggak akan memisahkan kamu sama Ayahmu, tetapi, hidupmu tetap sama Pupa. Jadi, silahkan kamu mau tinggal sama Ayahmu itu nggak menghancurkan Pupa. Mau Ayahmu kasih nafkah, tapi hidup kamu tetap tanggung jawab Pupa. Kak, bayinya kamu itu sama Pupa. Dan nggak ada satupun orang tua yang mau terpisahkan sama anaknya. Anak Pupa itu cuma dua, Zciaschialee dan Zhaigam."

BULAN PRASBIRUWhere stories live. Discover now