10

694 172 33
                                    

"Mama," Samar-samar kelopak netra Sena terbuka. Anak itu menatap ke atas, menangis keras setelahnya dan Anne langsung mendekat. Mencium Sena, mengusapi keningnya putra tercinta.

"Tangan kanan Sena sakit mama."

Dengan lembut, Anne membisikkan "Sayang, ini mama di sini. Nangis aja nggak papa, tapi Sena anak tangguh kan? Katanya teman ironman? Sena nanti sembuh kok. Cuma luka ringan aja sayang." Naik ke ranjang, kontan memeluk  Sena.

Anne mengusap surai Sena, dengan penuh afeksi menyalurkan sejumput ketenangan agar anaknya tidak lagi menangis.

"Nenek mana ma? Sena lihat nenek berdarah-darah. Hiks..., takut." Sena memeluk Anne erat. Empunya tidak lama menegapkan pundak anaknya.

Berujar, "Nenek udah siuman, tadi mama udah nemuin nenek. Cuman lecet sedikit dikepala. Sekarang lagi ditemenin om Jake sama Om James. Sena usap dulu ingusnya, masa gak malu ada papah loh." Dia menunjuk presensi Veeno yang berdiri sembari bersandar dinding di mana Sena tak menyadari.

Bukannya mengelap ingus, anak itu malah menangis sembari menjulur tangan ke depan ke arah Veeno.

"Pa, huhu. Mau dipeluk papa." Kata Sena membuat Anne tertegun.

Veeno melangkah, berjalan ke arah sebelah kiri ranjang Sena. Dia lekas naik ke atas seperti halnya Anne dan memeluk putranya. "Sayang...Anak papa. Nggak papa kok, nanti tangan Sena sembuh. Ini digips dulu supaya cepat membaik."

"But it's scary. Sena kayak mumi pa. Lihat." Sena menyodorkan tangan sebelah kanan yang digips sembari dia membuat mimik wajah nelangsa yang malah imut dimata Veeno yang melihatnya.

Mulut Veeno sengaja dia buka lebar, dia menangkup pipi Sena. "Hah? Di mana muminya? Wah jangan jangan di sini." Menggelitiki Sena sampai si anak tertawa terbahak-bahak.

"Ayo keluar muminya. Jauh-jauh dari anak papa."

"Papa! Geli." Kekeh Sena.

Dipuncak kulminasinya, saat Anne telaah baik-baik interaksi di antara Veeno dan Sena, ada secercah rasa bungah mengisi relung hati seorang Annersinta Faradira. Menumbuhkan ruang gersang yang selama ini telah mendominasi benak Anne sehingga  sedikit menghijau pun memantikkan pendar cahaya menerangi sudut hati dan pikirannya yang gelap. Dia lalu mengangkat tangannya ke dadanya yang berdegup. Sebelum realitas itu kembali menamparnya.

Anne terdiam, menunduk akhirnya menyeka sudut mata. Veeno yang menyadari, meraih tangannya Anne dari belakang tubuh Sena. Menatap Anne sembari repititif mengusapkan jemarinya lembut di atas punggung tangan Anne. Menyuratkan kepada Anne untuk tetap tenang, walau dia tidak tahu apa yang sedang mantan istrinya pikirkan.

"Sena, makan ya?" Akhirnya Anne masuk konversasi. Tersenyum ke arah putranya baru dia mengambil mangkok bubur dari rumah sakit.

Anne membuka tutup mangkok itu, mengangkat sendok dan mengambil sedikit. Lekas menyerongkan tubuh menghadap Sena.

"Buka mulutnya boleh dong?"

Bibir Sena mengerucut, menutup mulut dengan tangan kiri yang tak apa-apa.

"Kata temen Sena ya, bubur rumah sakit nggak enak. Sena nggak mau!"

"Temen Sena ngawur. Bubur rumah sakit enak kok. Bubur ayam, nggak kalah enak dari yang dijual diresto."

Veeno menginterupsi. Dia mengasak surai Sena. Anak itu menatap ragu.

"Gak Sena nggak mau." Masih tidak mau.

Veeno menimpali. "Yaudah sini mah, suapin papa aja." Membuka mulut mendekat pada sendok yang sudah dipegang oleh Anne sehingga sang empu akhirnya menyuapkan suapan yang pertama pada Veeno alih-alih Sena. 

Mata Veeno memenuh, "Ya Ampun, ini enak banget." Veeno mengambil sendok di tangan Anne, mengambil lagi dan menyuapkan pada wanita itu.

"Coba deh mah, enakkan? Papa itu nggak bohong."

Melatakkan tangan kanan di bawah dagu guna berjaga-jaga agar tidak ada yang tercecer, sepersekon Anne mengangguk.

"Enak banget. Sena rugi kalau nggak coba."

"Tuhkan, mama bilang enak. Sayang ayo dong makan. Biar sehat terus ntar bisa main sama papa. Kita main bola atau basket?" Veeno mencubit hidung putranya.

Sena menatap mangkuk di tangan mama dan mengangguk. Dia buka mulut lebar. Anne suapkan bubur kepada Sena. Terkekeh geli disaat Sena menjilat kata-katanya sendiri dan terus meminta disuapi.

"Enak. Teman Sena bohong ah. Mau lagi mama."

"Habis sayang," Rose menyodorkan mangkok pada Sena. Kosong sebab Sena lahap sekali.

Anak itu mendongak pada papanya. "Papa, mau bubur ayam."

Padahal Sena itu bukan anak yang manja. Barangkali dia masih takut sebab tangannya digips atau efek adanya Veeno disampingnya, Anne tidak tahu. Anne memilih beranjak dari ranjang. Meletakkan mangkok ke meja dan berjalan mengitar guna mengambil tas disofa.

"Pakai uang aku aja." Menyodorkan uang seratus ribu.

Mendorong pelan tangannya Anne. Veeno menggeleng.

"Pakai uangku. Sena anakku juga. Jadi berapapun bakal aku keluarin. Kamu disini, jagain Sena ya. Mau bubur ayam sekalian?"

Bukankah mereka laksana sepasang suami istri yang harmonis? Kalimat manis dan segalanya. Anne menarik garis bibir ke atas, menganggukkan kepala ragu-ragu. Veeno mengasak surai Anne. Membuat Anne terkejut karena itu sangat mengagetkannya.

Dia menoleh, memperhatikan sang mantan suami yang makin menjauh dari penglihatan. 

Detik berganti detik, menit berganti menit. Anne duduk di sofa sedang Sena memejamkan mata.

Sayang anak itu beranjak duduk lagi.

"Mama," Undang Sena. Anne ambil langkah mendekat. Dia bertanya ke Sena perihal ada apa? Sena hanya mengusap-usap air mata mamanya yang tertahan dipelupuk. "Makasih karena udah bolehin Sena ketemu papa lagi. Bilangin sama om James makasih juga karena udah bantuin Sena mbujuk mama."

Anne mengangguk, "Apapun untuk Sena. Mama bakal lakuin apapun, asal Sena bahagia." Dia mengecup kening Sena. Mendekapnya sangat erat.

Sena berujar, "Termasuk kembali ke papa?"

Puing-puing lara mendadak kembali menghantam tiap jengkal perasaan Anne. Dia melepas pelukan kepada anaknya dan menatap penuh tanda tanya. "Apa, itu akan membuat Sena bahagia?" Lirihnya.

Sena spontan menggenggam erat  tangan mama. Dia mengusap usap jari manis wanita itu sembari terus menatap cincin yang tersemat atau barangkali itu baru terpasang belum lama ini. Sena tahu cincin itu karena dia ikut membeli. "Nggak harus Ma. Sena memang mau papa dan mama ada untuk Sena. Tapi Sena gak mau paksa mama karena Sena lihat, ada keputusan yang udah mama ambil."

Anne hanya bisa menunduk, tangis wanita itu pecah. "Sena,"

Benar, cincin itu adalah cincin yang dulu James beli saat mengajak Sena jalan-jalan. Walau om James tidak mengaku untuk apa beli cincin, tapi Sena akhirnya paham.

"Jadi kapan mama nikah sama om James?" Tanya Sena.

Bruk... Anne dan Sena menoleh ke sumber suara. Veeno kembali dari membeli bubur ayam tepat setelah Sena berujar. Lelaki itu menjatuhkan plastik berisi bubur ayam sesuai apa yang Sena inginkan. Namun, Veeno malahan membuat perjuangannya mengantri bubur ayam terbuang sia sia.

Dia masih membeku, menatap Anne dalam. Rungunya tidak salah dengar tetapi dia berharap dia salah dengar. Apakah ini mimpi? Kenapa rasanya lebih menyakitkan bagaikan tengah dihadapkan ambang kematian yang mengerikan?

"Veeno," gumam Anne menghampiri lelaki itu. Berjongkok, dan dia beresi plastik yang berceceran di lantai.

Veeno menyamakan posisi, dengan segera menghentikan tangan Anne lantas menangkup pipinya. Veeno mempertemukan kening keduanya, menangis disela-sela itu. "Anne, aku, apa aku benar-benar nggak pernah punya kesempatan kedua?"[]

Paradigma[✓]Where stories live. Discover now