07

621 164 35
                                    

Anne memarkirkan mobilnya. Manik sayu itu menatap lurus ke depan lalu tangan kirinya terulur ke kanan ambil buket bunga anyelir putih di samping kursi kemudi. Barang sejenak, Anne mencium harum bunga tersebut dan dia membuka pintu mobil. Terdiam sesaat, Anne mendongak ke langit yang sore ini begitu terik. Beberapa kawanan burung terlihat melintas di atas awan biru.

Wanita bersetelan kemeja kerja itu menarik senyum simpul.

Mendadak,

Nafasnya tercekat, saat dia kembali merasa begitu sesak sekadar hirup udara. Bukan karena sakit, tapi Anne kembali terngiang dukanya yang tak pernah hilang. Dia mengusap buliran air mata yang turun membahasi pipi.

Anne perlahan menutup pintu mobil lekas bergegas melangkah. Menaiki bukit yang tidak terlalu menanjak di area luas itu.

Pacuannya Anne terhenti tepat lima langkah dari destinasi dan bersama itu sepoi angin menerbangkan surai tergerainya. Ada punggung tegap yang membelakanginya; Anne serta merta  mengenali siapa sosok itu.

Apakah semesta sedang bercanda? Kenapa harus bertemu di sini? Anne  tidak siap berhadapan dengan sosok itu disini? Sayangnya tidak mungkin Anne berbalik apalagi matahari kian menyongsong senja dan gelap akan segera bertandang.

Suara langkah kaki dari sepatu high heels yang kembali berjalan berderu dengan rerumputan membuat sosok yang sedang menaburkan bunga itu menoleh. Bibirnya kelu, suasananya menjadi hening pada sekon berikut lepas Anne berjongkok meletakkan bunga di atas pusara anak pertama mereka dengan nisan bertuliskan—

Davendra Rahardyanto.

Pandangannya Veeno terpatri pada Anne yang mengusap nisan Daven dan menciumnya cukup lama. Dari sorot mata Veeno, dia melihat satu tetes air mata jatuh dari mata kanan Anne. "Happy birthday, Daven. Mom loves you so." Lirih Anne pelan, amat pelan tapi masih bisa Veeno dengar samar-samar.

Hari ini adalah hari kelahiran Daven sekaligus peringatan hari kematian anak itu. Veeno menoleh ke samping menahan air matanya. Tangan lelaki itu terkepal.

Hal paling menyembilu bagi orang tua adalah kehilangan anak mereka;
sesosok yang begitu diharap untuk menjadi pelengkap di bahtera rumah tangga sepasang manusia.

Veeno bergetar lantas memejamkan kelopak matanya. Tangan lelaki itu terulur memegang bahu Anne yang masih terdiam membisu menatap ke nisan Daven.

"Anne," Lirih Veeno. Netra bergulir ke atas saat mendadak langit cerah itu berubah mendung. "Mendung Anne, hujan akan segera tiba."

Anne mengusal-usapkan tangannya ke lengan. Menunduk. "This day, July 13, 2022. It's his sixth birthday."

Suara Anne parau, seakan-akan tak ada amunisi dalam pita suara wanita dua puluh tujuh tahun itu. "On the same day, six years ago, I kissed him in my arms. Tapi wajah Daven pucat pasi, kurus, tanpa nafas dan detak jantung. We were there, Veeno.  We were crying. Kamu merengkuh aku dan aku peluk Daven erat." Tangisan Anne pecah. "I told him, to open his eyes but he didn't do it. He just slept and never woke up until this ground became his home. I never heard his voice when he crying. And he has never been here, met us, called papa and mama."

Detik itu Veeno menarik Anne dalam dekapannya. Dia membiarkan Anne menumpahkan nestapa yang dirinya rasakan pula. "Daven is always here.. in our hearts, Anne."

Jemari Anne meremat kuat ujung baju Veeno. "Bahkan sampai saat ini aku belum sanggup beritahu Sena perihal Daven."

Kepala Veeno mendongak. "Maafin aku, Anne. Ini semua salahku. Maaf karena aku dulu egois." Kontan dia mengecup pucuk kepala Annersinta dipelukannya.

Sementara tanpa keduanya sadari, bunga yang di dalam genggaman seseorang terjatuh ke atas tanah.

James menatap sendu pada Anne dan Veeno yang saling berpelukan menyalurkan lara satu sama lain.

Sudut netranya basah oleh sapuan air mata, James berbalik, sebelum itu James membungkuk mengambil bunganya lantas melangkah pergi dari sana. James memasukkan lagi ring bearer yang dia genggam pada tangan satunya ke dalam saku. Dia melangkahkan kaki lebar menuruni bukit.

Mengurungkan niat melamar Anne di depan Daven.

××|××

Di salah satu meja di sebuah resto cukup terkenal di Jakarta, dua orang kini tengah saling berhadapan. Anne atas ajakan Veeno mendatangi resto tersebut guna mengisi perut.

Tidak ada perbincangan, keduanya sibuk menyuapkan nasi kemulutnya masing-masing. Kendati Veeno telak secara diam-diam mencuri pandang ke arah Anne. Veeno tersenyum saat Anne melahap makan dengan damai dan tenang.

Rasanya sudah lama tidak makan bersama. Semua bagaikan nostalgia pada masa dulu mereka.

"Sena sama siapa?" Veeno tidak lama meletakkan sendok. Menatap Anne yang menyelaraskan tatapan dengan miliknya.

Mengelap sudut bibirnya, Anne pun berkata, "Sama bundaku nganterin Jake ke Bandung. Dia balik kosan, liburan semesteran udah habis dan dia lagi pusing mulai skripsi." Kata Anne terkekeh. Mendadak Anne pun teringat akan ekspresi Jake sekala dia harus balik ke kosan. Mahasiswa teknik industri ITB itu memang suka home sick.

"Oh, Jake udah besar ya." Veeno pun basa-basi. Anne hanya mengangguk pelan, kembali menyuapkan makan ke estuari. "Ne, ngomong-ngomong. Aku gak sama Nina atau orang lain. Waktu itu pas kamu nelfon, akunya mau jelasin udah duluan dimatiin..."

Tangan Anne bergetar, dia menarik senyum simpul menatap ke Veeno.

"Gak perlu dijelasin detail. Nggak jadi masalah kok Veen. Lagian itu bukan urusan aku, kamu mau sama siapa.."

DEG. Hatinya Veeno tercubit walau sebenarnya tak ada yang salah dari kata-kata Anne jika benar masalah Veeno bukanlah urusannya. Namun, kenapa itu sangat menyakitkan bagi Veeno? Sekarang, Veeno hanya bisa menahan air matanya supaya tidak tumpah.

Drdt...Drdt... Ponsel Anne berdering, dan Anne mengangkat telfon dari Jake.

"Hallo Jake? Udah sampai Bandung dek?" Anne menaikkan alis, tatkala mendengar suara bergetar adiknya itu. "Adek, Jake? Kamu kenapa dek nangis?"

Di balik sana Jake, berkata. "Mbak kenapa daritadi nggak diangkat sih mbak!"

Anne menjauhkan ponsel. "Tadi ini sinyal mbak jelek. Kenapa?"

Tangisan Jake terdengar. "Aku udah sampai Bandung. Tapi...baru aja ini Jake dapat kabar dari polisi, katanya mobilnya bunda kecelakaan di tol... Bunda sama Sena mbak Ne, mereka kecelakaan pas perjalanan balik ke Jakarta. Jake udah kabarin ke mas James. Dia lagi perjalanan ke TKP."

Anne mendongak, menatap lurus ke Veeno yang menaikkan bahu bagai menyiratkan ada apa? Sedang Anne seketika menjatuhkan ponsel.

Tangan Anne terangkat menutupi mulut.

"Ne, kenapa?" Tanya Veeno berdiri menghampiri Anne.

Sedang Anne menjawab lirih seraya tersedu-sedu, "Bunda sama Sena kecelakaan di tol." []

Paradigma[✓]Where stories live. Discover now