19

36 3 0
                                    

"Are you okay?" Dante menatap Marsya dari pintu. Lusi kekasih Dante tengah mengunjungi Marsya di jam makan siang ini.

"Iya Pak, aku baik-baik aja." Sahut Marsya.

"Semalem aku sama Devan di klub." Dante menatap Lusi dan Marsya bergantian.

"Dia kacau." Dante menggelengkan kepalanya. Marsya menghela nafasnya.

"Dia layak mendapatkan yang lebih baik dari aku. Yang sepadan dan gak punya cerita kelam seperti aku." Sahut Marsya.

"Senja tak pernah berjanji akan selalu indah, Sya. Tapi ia akan setia kembali setiap saat untuk memeluk malam supaya merelakan kepergian siang." Lusi memeluk pundak Marsya.

"I feel you, honey. Be strong, okay?" Ujar wanita cantik itu. Marsya mengangguk.

Malam ini Aras terbangun karena ia ingin buang air kecil. Ia mendekat ke arah pintu kamar ibunya dan mendengar isak tangis di sana. Suara Marsya terdengar pilu. Aras menyandarkan tubuhnya di dinding kamar ibu sambungnya tersebut. Usia Aras boleh saja masih kecil namun ia tahu apa yang terjadi pada Marsya. Dari dulu ia tahu seberapa besar perjuangan Marsya untuk mengurusnya dan membesarkan nya. Marsya belum pernah bahagia selama ini dan ketika baru saja Marsya ingin membuka hatinya namun kini semua sudah hancur berantakan.

Aras menoleh pada ponsel Marsya yang tergeletak di meja. Diam-diam dia mengambil ponsel tersebut dan mencatat sebuah nomor telpon yang harus ia hubungi.

***

Marsya baru saja akan kembali setelah memesan kopi di Starbucks yang berada di lobby utama kantornya.

"Haha, gak tahu malu. Gimana rasanya di tolak calon mertua dan di tinggalkan Devan?" Tania menyeringai tepat di hadapan Marsya. Namun bukan Marsya namanya jika terpancing begitu saja.

"Kamu pengangguran ya? Kerja gih! Biar gak sibuk ngurusin orang." Sahut Marsya.

"Eh perempuan gak tau diri! Harusnya kamu malu, seorang janda seperti kamu gak pantes ada di kantor ini. Periksa gih, siapa tahu kamu positif HIV!" Ejek Tania. Sontak saja tingkah Tania menjadi pusat perhatian pengunjung Starbucks yang kebanyakan adalah pegawai dari perusahaan Dante.

Marsya mengernyitkan keningnya. Kini ia faham, siapa biang keladi dari masalah ini.

"Harusnya kamu yang gak ada di sini!" Suara seseorang membuat Marsya dan Tania menoleh.

Dia adalah Ana ibunda dari Dante. Wanita itu berjalan menghampiri Tania.

"Pergi dari sana dan jangan coba-coba kembali ke kantor saya." Usir Ana.

"Kenapa? Heran?" Tanya Ana melihat Tania seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Perempuan macam kamu itu berbisa. Harusnya kamu menyimpan rapi aib seseorang yang kamu ketahui. Ingat Tania, Karma does exist!" Ana menarik pelan tangan Marsya.

"Ayo Sya." Ia berlalu dengan tatapan penuh kebencian pada Tania yang masih mematung. Tak berapa lama dua orang petugas keamanan menarik paksa Tania dari Starbucks dan mengusirnya bagai lalat.

"Maafin aku ya bu." Marsya menunduk tak enak pada Ana.

"Ck, bukan kamu yang harusnya minta maaf." Ana tersenyum lembut.

"Gak usah di pikirkan. Saya udah tahu semuanya." Ana tersenyum.

"Tuhan tak akan menguji kamu di luar batas kemampuan kamu, Sya. Bagi saya, kamu adalah perempuan hebat." Ana kembali mengusap punggung Marsya.

Beberapa saat lalu..

"Kamu jangan terlalu egois, Ir. Devan itu sudah dewasa, biarkan dia memilih." Anak menyesap minumannya yang baru saja tiba di meja. Irina mengajaknya bertemu di Starbucks di kantor Ana. Memang kepemimpinan sudah di pegang oleh Dante, namun Ana masih sering membantu Dante dalam mengambil beberapa keputusan besar.

"Aku bingung, An. Aku takut Devan tertular dan gimana kalo misalnya selama ini Devan dan Marsya sudah melakukannya." Irina menghela nafasnya.

"Kamu tahu kan anak-anak kita kelakuannya kayak apa? Aku yakin Marsya dan Devan udah jauh berhubungan." Ana tak lagi basa basi pada Irina yang tengah memijat pelipisnya.

"Misalnya pun dia janda dan punya anak, memangnya kenapa sih? Atau misalnya Marsya positif HIV, kan bisa pakai kondom!" Seru Ana.

Irina memicingkan matanya. "Mulut mu itu ya gak ada filter nya." Kesal Irina.

Tatapan Irina seketika teralih pada Marsya yang masuk dengan membuka pintunya dengan bahunya sementara tangannya sibuk pada ponselnya.

"Calon menantu tuh!" Goda Ana.

"Ck!" Irina berdecak pelan.

"Coba Marsya mau sama Dante, udah aku jodohin dari dulu." Ana terkekeh. Irina mendelik sebal pada sahabat nya itu. Tiba-tiba Tania datang dan membuat kekacauan.

***

Irina menatap air hujan yang turun dengan derasnya. Seharusnya tadi ia menjambak rambut Tania mantan calon menantunya itu. Tapi egonya mengekang nuraninya dan kini ia menyesali nya.

Ia tiba di rumah sore hari.

"Bu, ada tamu." Beritahu salah satu asisten rumah tangganya.

"Oh? Siapa?" Tanya Irina.

"Katanya anaknya Mbak Marsya." Irina membelalakkan matanya mendengar jawaban wanita paruh baya itu. Ia segera masuk ke dalam rumanya. Nampak seorang anak laki-laki yang mengenakan topi di temani seorang pria dan seorang wanita. Ketiga nya menoleh dan mengangguk sopan.

"Halo, siapa ya?" Sapa Irina.

"Selamat sore bu. Saya Aras, anaknya Ibu Marsya." Sahut Aras.

Janji senjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang