7

49 4 0
                                    

  "Enak gak?" Tanya Devan. Marsya mengangguk heboh.
"Enak banget tapi jelas aku harus membatasi ini." Ujar Marsya.
"Why?" Tanya Devan.
"Nanti aku kegendutan." Sahut Marsya.
"Ck, apanya yang gendut sih? Seksi tau!" Goda Devan.
"Gombal!" Marsya kembali menikmati  hidangan lautnya.
"Mars, Aras gak marah? Hari ini aku culik kamu, ibunya." Pancing Devan.
"Nggak, lagian Aras akan di tinggal di tempat ibu sampai liburan selesai. Kasian kan liburan satu bulan cuma diem aja di rumah aku." Sahut Marsya.
"Papa nya Mars gak ngajak liburan?" Pancing Devan lagi. Marsya terdiam sejenak lalu mendongak tersenyum pada Devan.
"Nggak, dia lagi sibuk banyak kerjaan." Dustanya. Devan mengangguk.
"Is it okay about our relation? I mean, how about your husband, Mars?"  Tanya Devan. Marsya mengedikkan bahunya.
"I think he'll be okay about us. Eh? Memang nya kita ngapain? " Marsya menatap Devan sekilas.
"Maybe, you and i will in relationship soon, Mars." Devan tersenyum jahil.
"Ck, buaya!" Sahut Marsya.

***
Hari demi hari mereka semakin dekat. Devan tak segan-segan datang ke kantor Dante ketika makan siang tiba dan menculik sekretaris sahabatnya itu. Dante hanya menggeleng kan kepalanya ketika tahu Devan tengah mendekati Marsya dengan semangat. Dante senang, semakin hari Devan dan Marsya semakin dekat dan jelas terlihat di wajah Marsya jika wanita cantik itu tak keberatan dengan kehadiran Devan yang seperti lalat di sekitar Marsya.
   "Suamiku udah meninggal, Dev." Ujar Marsya ketika mereka tengah makan malam di resto jepang.
"Oh? Syukur deh--eh maksud ku ya berarti aku gak berdosa dong!" Devan tersenyum jahil.
" Kamu kayak gak terkejut gitu, Dev?" Curiga Marsya.
"Udah tahu, jadi ya biasa aja." Sahut Devan enteng. Marsya menatap Devan tajam.
"Dante yang kasih tahu aku." Jawab Devan. Lalu ia bercerita dengan polos nya mengenai hatinya yang patah dan Dante bercerita padanya tentang mendiang suami Marsya.
"Nah kan kamu udah tahu status aku, jadi apa kamu masih mau berteman sama aku?" Tanya Marsya. Devan menatap Marsya dengan tatapan tak terbaca.
"Nggak mau." Sahut Devan. Marsya tersenyum lalu meletakkan sumpit nya.
"Sudah kuduga." Gumam Marsya.
"Dugaan kamu salah tapi Mars!" Devan terkekeh.
"Aku nggak mau jadi teman kamu, aku mau jadi suami kamu dan juga jadi ayah untuk Aras." Ujar Devan dengan mata berbinar.
Marsya melongo.

***
   Devan tak pernah memaksa Marsya untuk menerima cintanya. Ia pun tak tergesa-gesa untuk mendapatkan pengakuan dari Marsya. Ia hanya mencoba membuat Marsya nyaman berada di dekatnya. Ia ingin Marsya merasa terlindungi dan kembali menumbuhkan rasa percaya Marsya akan cinta lawan jenis setelah kehilangan di masa lalunya. Devan tahu, ada kekhawatiran yang diam-diam sedang Marsya enyahkan dari hatinya.
Hari ini Marsya lembur karena Dante tengah berada di luar kota. Pukul 6 sore Marsya sudah bersiap pulang.
"Mau di anterin pulang?" Tanya seseorang dari pintunya yang sudah terbuka.
"Eh? Dev!" Marsya tersenyum karena sudah hampir 10 hari ia tak bertemu Devan, pria itu pergi ke inggris untuk menjemput ibundanya.
"Sejak kapan di situ?" Tanya Marsya beranjak dari duduknya.
"Sejak SD." Sahut Devan. Pria itu menatap Marsya lekat lalu menarik lengan wanita itu ke dalam pelukannya.
"I miss you so much.." Bisiknya. Marsya terdiam di dalam pelukan Devan.
"Kamu mabuk?" Tanya Marsya menahan tawanya.
"Aku udah mabuk karena 10 hari gak ketemu kamu." Gumam Devan.
"Berlebihan." Marsya mendorong tubuh Devan pelan.
"Ah iya... Mars, mami mau ketemu kamu." Devan tersenyum miring.
"Hah?" Marsya membelalakan matanya.

Janji senjaWhere stories live. Discover now