3

54 4 0
                                    

   " Udah...udah gue udah gak sanggup ketawa lagi!" Dante masih terpingkal-pingkal menertawakan kekesalan Devan.
" Setan emang lo!" Devan kembali menyesap rokoknya.
" Lah gue gak salah dong, lo kan memang pecinta selangkangan, bener kan?" Dante tergelak.
" Terserah lo, bangke!" Devan memutar bola matanya. Sejak 30 menit lalu Marsya sudah pulang sedangkan Dante dan Devan memilih menghabiskan waktu ke club langganan mereka. Dante sendiri akhirnya menjadwalkan ulang rencana menemani maminya ke dokter. Malam ini Devan sudah janjian dengan wanita bayarannya. Seperti biasa Devan akan menyalurkan nafsunya yang menggebu-gebu.
" Lo gak pesen?" Tanya Devan pada Dante. Sementara jalang pilihannya sudah berada di pangkuan Devan.
" No, besok gue ada meeting pagi. Bisa-bisa Marsya ceramah ke gue." Sahut Dante.
" Lo sering pake Marsya?" Tanya Devan.
" Gak lah, Marsya itu perempuan baik-baik, dia pure kerja di tempat gue karena otak bukan karena selangkangan nya." Puji Dante.
" Lo kuat ngadepin sekretaris secantik dia?" Tanya Devan.
" Ya gue kuat-kuatin. Lo kenal mami gue, kan? Kalo marah udah kayak gunung berapi!" Sahut Dante.
" Apa hubungannya sama mami lo?" Tanya Devan mengernyitkan keningnya.
" Marsya itu orang kepercayaan mami." Sahut Dante. Devan mengangguk lalu beranjak meninggalkan Dante tentu saja ia menuju kamar yang di sediakan di club malam nomor wahid di negeri ini.

Devan sosok yang dingin namun akan berubah jadi sosok yang manis ketika berada di sekitar orang-orang yang ia sayangi. Devan yang terkenal senang membuang wanita begitu saja jika ia sudah bosan akan desahan dan lekuk tubuh wanita tersebut.

" Shit...Ahhh..." Devan mendorong tubuh jalangnya supaya tak mendekap tubuhnya.
" Nih bayaran lo, keluar sekarang!" Devan menunjuk pintu keluar. Wanita itu segera mengenakan pakaiannya, ia kira akan tidur bersama Devan malam ini ternyata betul apa yang ia dengar selama ini, Devan tak akan pernah mengizinkan wanita bayarannya untuk tidur dalam satu ranjang bersamanya.

   " Sya, berkas yang mau di tanda tangan tolong siapin ya, saya mau pulang cepat." Ujar Dante.
" Oh? Ada urusan, pak?" Tanya Marsya.
" Iya, mami saya minta di antar arisan!" Dante menghela nafasnya. Marsya pun menahan tawanya.

30 menit sudah berlalu sejak Dante meninggalkan kantornya, Marsya masih berkutat dengan pekerjaannya di ruangan yang terletak tepat di depan ruangan Dante.
Wanita itu mematahkan lehernya ke kanan dan ke kiri, ia merasa pegal karena seharian memeriksa pekerjaannya.
   Tok..tok..tok..
Seseorang mengetuk ruangan Marsya.
" Apa saya mengganggu?" Tanyanya.
" Eh? Pak Devan?" Marsya bangkit dari kursinya.
" Mau ketemu pak Dante?" Tanya Marsya.
" Iya, tapi sepertinya dia nggak ada." Sahut Devan sambil mengedikkan bahunya.
" Ah ya, pak Dante pulang cepat ada urusan keluarga." Terang Marsya pada Devan. Pria itu mengangguk.
" Kamu masih banyak kerjaan?" Tanya Devan.
" Saya?" Marsya terperanjat karena ia sedang memandang Devan dengan lekat.
" Eh? Tinggal sedikit sih pak, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Marsya.
" Saya lapar, belum makan siang." Sahut Devan.
" Oh? Mau saya pesankan makan?" Tawar Marsya.
" Nggak. Maunya di temenin makan." Sahut Devan. Marsya menatap pria yang mengenakan kemeja hitam yang sudah di gulung hingga sikut, senyum nya yang jahil dan tatapan matanya yang tajam membuat Marsya mengalihkan pandangannya.
" Saya masih banyak kerjaan pak!" Marsya tersenyum sopan." Tolak Marsya dengan ramah.
" Oh? Oke.." Devan tersenyum lalu berbalik meninggalkan Marsya. Ada rasa kecewa setelah menolak ajakan Devan, tetapi untuk apa Marsya kecewa? Apa mungkin dirinya berharap sedikit pada Devan?
" Stop! Sya...Stop!" Marsya menggelengkan kepalanya.

Janji senjaWhere stories live. Discover now