Nesya tetap melanjutkan makannya, karena ia berpikir ada Dehan di ruang tengah yang akan membukanya. Lagian menurutnya itu pasti sanak keluarga Dehan sendiri. Mana mungkin itu dari keluarganya, ia kan tidak punya keluarga.

Sementara di depan pintu,..

Ceklek

Dehan membuka pintu. Lalu menampakkan wajah tiga sahabatnya, Ali, Fares, dan Aziz.

"Akhirnya kalian sampai juga. Mana makanannya? aku udah kelaparan" sambar Dehan menyambut kedatangan tiga temannya.

"Ayo masuk." sambung Dehan.

Ketiga sahabatnya langsung mengikuti langkah Dehan menuju ruang tengah.

"Kamu apaan sih, Han. Emang istri kamu gak masak? Sampai-sampai minta kami segala buat bawain makanan."

"Yaelah, ribet amat. Sekalian biar aku ada teman main, makanya nyuruh kalian ke sini."

"Itu noh, istri kamu ajak main, main kasur-kasuran. Haha!" belum apa-apa tawa lepas Aziz sudah memenuhi ruang tengah tersebut.

"Ogah!" sambar Dehan dengan tatapan malasnya.

"Weih! Dosa loh Han gak menggauli istri. Gimana sih anak pesantren ini!" Ali menimpali dari samping.

"Cot,....bacot!" tanggap Dehan sembari memutar malas bola matanya.

"Cepat sini makanannya, berisik kalian semua!" lanjut Dehan sambil menarik bungkusan makanan dari tangan Ali.

Oh, ternyata yang dikirimi Dehan pesan dari WhatsApp tadi adalah sahabatnya ini.

Saat mereka asik menikmati makanan tersebut, tiba-tiba Nesya melintas dari samping mereka, hendak ke kamar atas sepertinya.

"Eh, Han, itu istri kamu ajak gabung makan sini."

"Mba!" lanjut Ali langsung memanggil.

Dengan sopan Nesya menghadap ke sumber suara.

"Iya?" jawabnya beriring senyum tipis.

"Ayo sini gab....."

"Apa-apan sih kamu, Al!!" sarkas Dehan tiba-tiba, wajahnya sungguh terlihat gusar.

"Loh, aku cuma ngajak dia mak...."

"Gak usah! Dia gak pernah makan beginian, ini bukan makanannya." lagi-lagi Dehan memotong ucapan Ali dengan lontaran-lontaran kasarnya.

Sungguh, Ali, Fares, dan Aziz terdiam seketika. Mereka memang tahu kalau Dehan tidak menyukai istrinya. Tapi mendengar kalimatnya demikian, sukses membuat hati mereka tersayat. Mereka saja yang mendengarnya ikut sakit hati, lalu bagaimana dengan Nesya yang menjadi objek dari kalimat makian itu sendiri.

"Aku udah makan tadi, kalian lanjut saja. Terima kasih."

Bisa-bisanya Nesya mengucapkan kalimat itu beriring senyum dan sedikit anggukan kepala, terlihat begitu sopan. Setelah itu, ia pun berlalu ke atas.

Sesampainya di kamar atas, Nesya membawa langkahnya pada balkon kamar. Di sana, ia mendudukkan bokongnya, sembari menikmati sepoi yang meneduhkan. Pandangannya tampak menerawang jauh. Jelas terlihat betapa banyaknya beban pikiran yang sedang ia tanggung.

Hm, yang benar saja, lagi-lagi air matanya membanjiri pipi putih kemerah-merahannya. Tapi lagi-lagi ia tak berucap apa-apa, hanya air mata saja yang berurai. Tidak seperti di sinetron atau cerita di novel-novel, dimana di saat si perempuan merasa tertekan, maka akan ditumpahkannya seluruh belenggu itu saat ia sendirian.

Bukan Santri IdamanWhere stories live. Discover now