20. Permintaan maaf

6 1 0
                                    

"TIDAK!!"

Semua tamu undangan terlonjak kaget mendengar teriakan Olivia. Erthan yang berada di samping Olivia sampai mundur beberapa langkah karena terkejut.

"Olivia, ada apa?" tanya ayah Oliva padanya.

"Papa, aku tidak ingin bertunangan dengan Erthan. A-aku sudah memiliki kekasih bernama Jhonny. Aku tidak ingin menikah dengan Erthan, aku ingin bersama Jhonny!" jawab gadis itu sembari terisak.

"Hey, Nak. Seharusnya kau mengatakannya dari dulu, maka papa tidak akan menjodohkanmu," ujar ayah Olivia sembari memeluk sang anak.

Eric menatap nyalang ke arah Olivia. "Tapi ini sudah tahap pertunangan, tidak bisa di batalkan lagi," ujarnya.

"Tidak, Tuan Eric. Jika putri kami tidak bahagia dengan pernikahan ini, maka kami juga akan merasa bersalah. Kami hanya ingin putri kami bahagia." Ayah Olivia membawa putrinya keluar dari rumah keluarga Adwilson.

Mentari yang menyaksikan kejadian barusan susah payah meneguk salivanya. Bagaimana dengan nasib dirinya nanti?

••••••


27 Maret 1987

Mentari menghembuskan nafasnya, susah payah dia bekerja keras untuk pertunangan Erthan sampai punggungnya sakit, ternyata pertunangannya batal dalam semenit.

Tok

Tok

Tok

Suara ketukan pintu mampu membuat Mentari gemetar seketika. Bagaimana jika itu Tuan besar? Pikir Mentari.

Dengan langkah perlahan, ia mendekati pintu. Mentari memejamkan matanya dan membuka pintu dengan perlahan.

Ceklek

Orang yang berada di depan pintu itu tersenyum ketika melihat Mentari yang memejamkan mata dan tubuhnya yang gemetaran.

"Buka matamu."

Jantung Mentari tiba-tiba berdegup kencang, perlahan gadis itu membuka matanya dan mengejapkan matanya berulang kali. Ia melihat Erthan yang sedang tersenyum di depannya.

"Apa yang membawamu kemari?" tanya Mentari dengan nada ketus.

"Apa aku tidak di izinkan masuk?" tanya Erthan.

Mentari menghembuskan nafasnya. "Ya, masuklah Tuan muda," ujarnya.

Erthan terkekeh, kemudian ia masuk ke kamar milik gadis itu. Erthan menatap ke sekelilingnya kamar ini, kamar ini benar-benar terlihat berantakan.

"Kenapa kamarmu berantakan?" tanya Erthan sambil melirik ke sekeliling kamar Mentari.

"Apa urusanmu." Mentari hanya melirik sekilas ke arah Erthan, kemudian berjalan menuju balkon kamarnya.

Erthan mengikuti Mentari dati belakang layaknya anak ayam dan induknya yang sedang menyebrang jalan.

Mentari berdecak sebal karena Erthan mengikutinya kemana pun. "Ck, bisa berhenti mengikutiku?"

"Tidak," jawab Erthan singkat.

Mentari memutar bola matanya. Dia menatap langit yang cerah, tidak seperti beberapa hari yang lalu, langit yang mendung tapi tidak kunjung tirun hujan.

"Apa kau tidak berpikir kalau langit ini juga tahu perasaan kita?" Erthan menatap sendu kearah Mentari.

"Mentari," panggilnya, gadis itu menghadap kearah Erthan.

Erthan tersenyum. "Aku minta maaf," ujarnya.

"Maaf karena telah menamparmu waktu itu, maaf karena telah menganggapmu wanita licik, maaf karena waktu itu aku terbawa emosi dan—"

Mentari dengan segera membungkam mulut Erthan dan jari telunjuknya. "Cukup. Cukup, Erthan. Aku sudah memaafkanmu," ujarnya sembari tersenyum.

"Semudah itu? Padahal aku banyak salahnya."

"Sesama manusia harus saling memaafkan," celetuk Mentari yang mengundang gelak tawa mereka.

Erthan mengelus rambut indah gadis itu, ia begitu merindukan hal ini. Tertawa bersama gadis itu, bermain bersamanya, mengelus rambut indahnya, bercerita apapun dengannya. Ia benar-benar merindukan itu semua.

"Ada bintang jatuh!" pekik Mentari sembari menunjuk bintang jatuh.

"Ayo cepat minta permohonan."

Kedua mata mereka tertutup, di dalam hati mereka, mereka meminta permohonan yang entah nantinya akan di kabulkan atau tidak.

Tuhan, saya hanya ingin bersamanya. Saya mohon jangan pisahkan saya dengannya, Batin Erthan.

Tuhan, aku ingin kembali ke masa depan. Namun, aku ingin kembali ke masa depan bersama dengan pria di sampingku ini. Dia adalah pria yang aku cintai, tolong kabulkan permintaanku, Tuhan, Batin Mentari.

Kedua mata mereka terbuka secara bersamaan. Mereka saling menatap satu sama lain dan tersenyum, berharap keinginan mereka akan di kabulkan di keesokan harinya. Dan berharap mulai sekarang hanya ada senyuman yang terbit di bibir indah mereka. Hanya berharap agar Tuhan tidak akan memisahkan mereka.

"Kau meminta apa?" tanya Mentari.

"Em...kado ulang tahun," sahut Erthan.

"Ulang tahun? Memang kapan kau berulang tahun?" tanya Mentari.

"Kau tidak tahu? Aku benar-benar sedih kau tidak mengetahui hari ulang tahunku." Erthan mengerucutkan bibirnya.

Mentari melirik kesana kemari karena bingung harus menjawab apa. "Tidak, bukan itu maksudnya. Aku bertanya karena aku kan baru saja datang ke tahun ini, dan aku dari masa depan. Jadi aku tidak tahu."

Erthan tersenyum puas, ia tadi sengaja menggoda gadis itu. "Iya, aku tahu. Hanya sedikit menggodamu," kekehnya.

"Dasar!"

"Ulang tahunku tiga hari lagi, kau harus memberiku hadiah yang indah. Dan kau harus ikut merayakan hari ulang tahunku. Jika tidak, aku akan marah denganmu selamanya!"

••••••

Bunga Terakhir [Selesai]Where stories live. Discover now