04. Luka dibalik senyuman

30 4 0
                                    

11 maret 1987.

"Kak Ekal, kenapa kau terus belajar?" tanya Erthan, Erthan sering sekali memergoki kakaknya itu belajar sampai tengah malam.

"Ayah yang menuntutku untuk terus belajar, Erthan. Itu juga demi kebaikanku dimasa depan," jawab Ekal seadanya.

"Tapi ayah selalu memarahi kakak setiap kakak mendapat nilai kecil, atau sekedar sakit dan tak bisa masuk sekolah. Apa itu sebuah kasih sayang, kak?"

"Erthan, kakak anak laki-laki tertua dikeluarga ini, ayah pasti tidak mau jika nama baik keluarga ini tercoreng karena putranya bodoh," ujar Ekal.

"Tapi aku tak pernah dituntut belajar terus menerus, kenapa hanya kakak?"

Ekal menghembuskan nafasnya, mau bagaimana lagi ia menanggapi adiknya yang keras kepala ini.

"Karena kau kesayangan ayah, kau sibungsu yang paling ayah sayangi. Bahkan jika kau terjatuh, ayah pasti akan memarahi siapapun yang berada  disekitar tempatmu terjatuh. Jangan sampai kau menghancurkan hati ayah, dia sangat menyayangimu, Erthan." Ekal menepuk-nepuk pundak adiknya itu.

"Dan aku ingin berkata, kak. Jangan terus-terusan belajar, jaga kesehatanmu."

Ekal hanya tersenyum dan mengangguk.
Tapi Erthan tau, banyak luka yang disembunyikan dibalik senyuman itu.

"Kak, aku pergi dulu, ibu akan memarahiku jika terus-terusan mengganggumu belajar," pamit Erthan.

Ekal yang memperhatikan punggung Erthan yang semakin jauh, kemudian menutup dan mengunci pintu kamarnya.

Kemudian Ekal tersenyum tipis, "kamu anak kesayangan ibu dan ayah, Erthan. Beda denganku. Kau selalu mendapat kasih sayang, sedangkan aku hanya mendapat luka."

Mata Ekal mulai menitikkan air mata. Bagaimana, pun, dia masih membutuhkan kasih sayang dari orang tua.

"Ibu selalu memarahimu bukan karena kau mengangguku, tapi karena ibu tidak memperbolehkan kau main denganku," gumam Ekal.

••••••

Erthan yang sedang tidur diatas ranjangnya, mendadak terkejut ketika seorang wanita asal masuk saja kekamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Bisa kau mengetuk pintu terlebih dahulu? Apa kau tidak punya sopan santun?" tanya Erthan dengan wajah datarnya.

"Maaf tuan muda, saya hanya diminta nyonya untuk mengantar makanan ini kekamar tuan muda," ujar Laila—pelayan rumah ini.

"Selain itu tak ada lagi, kan? Kau bisa pergi dari kamarku."

Laila mendengus sebal. "Dasar pria dingin, tak bisakah dia sopan sedikit saja?" gerutunya pelan dan kemudian pergi keluar dari kamar Erthan.

"Cih, pelayan tidak punya sopan santun seperti itu kenapa bisa ibu mempekerjakannya? Dan akhir-akhir ini juga dia yang selalu mengantarkan sesuatu kekamarku, ada apa?" gumam Erthan.

Ketika melihat makanan yang baru diantar Laila tadi, Erthan jadi teringat sesuatu
"Apa dia sudah makan?" gumamnya.

Kemudian ia beranjak dari ranjangnya, berjalan keluar kamar sambil membawa makanan yang diantar Laila tadi.

Erthan berjalan mengendap-ngendap kesuatu kamar. Untungnya diluar kamar itu sedang tidak ada penjaga.

"Hey," panggil Erthan.

Bunga Terakhir [Selesai]Where stories live. Discover now