12. Keracunan

15 4 0
                                    


Hari ini rumah keluarga konglomerat ini akan kedatangan wanita paruh baya kesayangan keluarga ini. Dia Hana, ibu dari Elya.

"Hello cucu-cucu Oma," sapa Hana pada ketiga anak Eric dan Elya.

"Oma."

Erthan memeluk nenek kesayangannya ini. Hana hanya terkekeh sambil mengelus rambut cucu kesayangannya itu.

"Ethan kangen nggak sama Oma?" tanya Hana.

Karena sudah memasuki umur 72 tahun, Hana tak bisa terlalu lancar menyebutkan nama Erthan, maka dari itu ia memanggil Erthan dengan sebutan Ethan.

"Kangen banget sama Oma," jawab Erthan sambil mengecup pipi Hana.

"Hellena," panggil Hana pada gadis yang sedang duduk disofa itu.

"Iya, Oma?" sahut Hellena.

"Dimana Arris sama Anna?" tanya Hana sambil melirik kesana kemari mencari kedua anak Hellena.

"Mereka sedang tidur, Oma. Sepertinya mereka kelelahan," jawab Hellena.

Tatapan Hana kini beralih kearah Ekal. Anak itu terlihat lebih kurus daripada sebulan lalu saat ia mengunjungi rumah ini.

"Nak, kenapa tubuhmu lebih kurus dari yang terakhir Oma lihat bulan lalu?" tanyanya sambil memegang pundak Ekal.
"Tidak apa, Oma. Oma tak perlu khawatir, Ekal hanya terlihat kurus karena belakangan ini tidak memiliki nafsu makan," jawab Ekal.

"Yakin?"

Ekal mengangguk, "Yakin seratus persen!"

Hana terkekeh melihat tingkah laku cucunya yang satu ini, hampir sama seperti Erthan.

"Ibu," panggil Eric dari atas tangga.

"Nak, kemarilah." Hana tersenyum melihat Eric datang kearah mereka.

"Kapan ibu datang?" tanya Eric.

"Ah, baru saja. Kau terlihat lebih gagah ya sekarang," kekeh Hana.

"Tidak juga, Bu."

"Hellena, tolong antar Oma kekamarnya," titah Elya yang diangguki Hellena.

Hellena segera menuntun Hana menaiki tangga secara perlahan.

"TUAN BESAR!!"

Dari arah belakang, Antono dan Antoni berlari sambil berteriak.

"Kalian kenapa?" tanya Eric saat melihat kedua penjaga itu terengah-engah akibat berlarian dan berteriak kencang.

"Tuan, s-sandera tuan besar pingsan!" ujar Antoni dengan nada bicara yang tinggi.

Antono mengangguk-anggukkan kepalanya, "Dan hidungnya mengeluarkan darah terus menerus, tuan," sambungnya.

Dan saat itu juga Erthan berlari kearah kamar Mentari. Semua orang yang melihat Erthan berlari hanya mampu terkejut sekaligus bingung. Sedangkan Eric sudah tau kenapa Erthan berlari setelah mendengar kabar dari dua penjaga ini.

Sudah ku duga kalau anak itu memiliki hubungan spesial dengan putraku, batin Eric.

"Panggilkan dokter pribadi kita sekarang!" titah Eric dan segera berjalan menyusul Erthan.

Disisi lain, Erthan berlari sekuat mungkin agar sampai kekamar gadis itu. Tubuhnya sudah gemetar, khawatir dengan keadaan gadis itu, takut jika Mentari tak akan selamat.

Setelah sampai dikamar Mentari, Erthan melihat gadis itu tergeletak dilantai dengan hidung dan mulut yang mengeluarkan darah.

"MENTARI!!" teriak Erthan sambil menepuk pelan pipi gadis itu.

"MENTARI BUKA MATAMU!!"

Sekali lagi, tak ada jawaban dari gadis itu. Hal itu membuat Erthan kalang kabut.

"Mentari ayo bangun, ku mohon bangunlah."

"Jangan seperti ini aku mohon, bangunlah," lirih Erthan.

Erthan terus berusaha membangunkan gadis itu, namun nihil, gadis itu tak kunjung bangun.

Sampai akhirnya datanglah dokter pribadi keluarganya dan dokter tersebut meminta Erthan untuk membaringkan Mentari diatas ranjangnya.

"Gadis ini sepertinya keracunan," ujar dokter tersebut.

"K-keracunan?" tanya Erthan.

"Iya. Coba kau lihat didekat gadis itu pingsan tadi, ada sepiring makanan dan gelas kosong, coba kau cium bau dari makanan dan gelas kosong itu."

Erthan segera menuruti perintah dokter itu. Ia mengambil piring yang masih lumayan banyak sisa makanan dan gelas kosong yang ada disamping piring itu.

"Baunya seperti......racun tikus!" pekik Erthan.

"Sudah kuduga itu racun tikus. Sebenarnya racun tikus lebih lambat menyebar keseluruh tubuh dari pada bisa ular," ujar dokter itu.

Dokter itu menepuk pundak Erthan, "Gadis ini sudah kusuntik, kau tak perlu khawatir, karena aku yakin dia gadis yang kuat dan dia hanya butuh istirahat saja," ujarnya.

"Apa kau menyukai gadis ini, Erthan?" tanya dokter itu secara tiba-tiba.

"M-maksudnya?"

Dokter itu tersenyum sekilas. "Aku bisa melihat dari matamu jika kau sangat mengkhawatirkannya. Kau yang dengan cepat membawanya berbaring untuk kuperiksa dan dengan cepat kau menuruti perintahku yang menyuruhmu mencium bau makanan itu. Aku bisa melihatnya, Erthan," ujar dokter itu.

Erthan hanya diam tak menjawab, yang terpenting sekarang adalah nyawa gadis itu, bukan perasaannya.

"Sekarang aku pamit, jaga dia baik-baik."

Dokter itu meninggalkan Erthan sendiri dikamar Mentari.

Erthan terus memandangi wajah pucat Mentari. Dia lalai menjaga gadis itu, sehingga keadaannya bisa sampai seperti ini.

Siapa pelakunya? Kenapa dia berani meracuni gadis yang bahkan tak tahu tentang kehidupan keluarga ini, batin Erthan.

Apa pelakunya Laila? Tapi dia bahkan bilang kalau dia tak diizinkan masuk kedapur. Lalu siapa pelakunya? Pikir Erthan.

Tak tahu saja jika sedari tadi Eric berada didepan kamar Mentari. Ia melihat bagaimana khawatirnya anak itu pada gadis yang ia anggap sebagai sandera.

Ia dapat melihat raut wajah putra kesayangannya itu. Ia sudah tau kalau Erthan sering berkunjung kekamar ini, tapi dirinya terus mengabaikannya saja, karena Eric pikir Erthan hanya membenci gadis itu dan kekamar ini hanya untuk sekedar menyakiti gadis itu. Namun nyata tidak, justru Erthan terlihat menyayangi gadis itu.

Jika kau berani melawan ayah, kau akan mendapatkan akibatnya, Erthan, Batin Eric.

••••


















DeRohaa_

Bunga Terakhir [Selesai]Where stories live. Discover now