16. Batal atau lanjut?

11 3 0
                                    

24 Maret 1987

Hari ini banyak pelayan mondar-mandir kesana-kesini mempersiapkan segala hal. Ya, karena besok adalah hari pertunangan putra bungsu keluarga Adwilson.

Mentari yang sejujurnya masih mengantuk, harus menahan kantuknya dan membantu para pelayan membersihkan rumah yang benar-benar luas. Mungkin kalau di bandingkan dengan lapangan bola saja, lebih luas rumah ini.

"Huft, belum ada setengahnya udah capek," gumam Mentari sembari mengipas-ngipas wajahnya menggunakan tangannya.

Mentari menatap ke sekelilingnya, padahal sudah banyak pelayan di sini, mengapa ia juga harus membantu persiapannya?

"Ayu, kau dan 3 pelayan ini akan membersihkan kamar milik nona Hellena," ujar Bu Ning—orang yang mengatur segala persiapan.

Mentari mengangguk. Dia berdiri dari duduknya, hendak pergi untuk menyapu kamar Hellena bersama dengan 3 pelayan lainnya. Namun, ketika sampai di tangga, ia berpapasan dengan Erthan.

Sorot matanya tertuju pada wajah Erthan, laki-laki yang sangat membencinya itu, dulu adalah orang yang dia percaya. Mentari berusaha untuk tidak gugup saat melewati Erthan. Dia pikir setidaknya Erthan memandangnya sekali lagi. Namun tidak, pria itu berjalan dengan wajah datarnya.

Setidaknya tatap aku untuk yang terakhir kalinya, Batin Mentari.

Mentari menghela nafas, untuk apa Erthan mau berbicara dengan gadis yang dia benci? Dia kembali berjalan menaiki tangga menuju kamar Hellena.

Sedangkan Erthan, pria itu berjalan kearah kamar ayahnya dengan menahan amarahnya.

••••••

"Tirainya sudah di pasang?" tanya Bu Ning.

"Sudah," jawab Mentari.

Bu Ning melirik ke seluruh penjuru ruang kamar Hellena. "Baik, sudah bersih semua. Kalian bisa istirahat dulu sejenak, setelah itu kita lanjut ke kamar Tuan Ekal," ujar Bu Ning yang mendapat anggukkan dari para pelayan.

"Huft, benar-benar lelah," gumam Mentari sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan.

"Ayu, kau mau makan ini?" tanya seorang pelayan yang Mentari ketahui, namanya Dina.

"Ah, roti? Aku mau," jawab Mentari.

Dina tersenyum dan memberikan roti itu pada Mentari. "Ternyata kau gadis yang baik," ujar Dina.

Mentari mengerjap bingung. "Kau.....yakin?" tanyanya.

"Tentu, kau cantik, baik hati, dan murah senyum. Memangnya kenapa?"

Mentari tersenyum miris. "Tidak apa-apa. Hanya saja, ada satu orang yang bilang kalau aku wanita yang licik, padahal aku tidak seperti itu," ujar Mentari dengan nada lirih.

"Hey, tidak seperti itu. Dia yang salah menilaimu, perkataannya tolong jangan di masukkan ke hati, masukkan saja ke ginjal." Dina terkekeh dan memeluk Mentari sembari mengelus punggung gadis itu. "Kau itu baik, dia saja yang buruk."

"Terima kasih, kau juga sangat baik."

Dina terkekeh sejenak. "Tentu saja aku baik," ujarnya.

"Ah iya, kapan kita membersihkan kamar Tuan Ekal?" tanya Mentari.

"Emm....mungkin sebentar lagi," jawab Dina.

••••••

Mentari berjalan dengan wajah lesu, dia benar-benar lelah untuk hari ini. Setelah membersihkan kamar Ekal, dia di izinkan untuk kembali ke kamarnya. Dan kamarnya melawati ruang pribadi Eric, ia takut kalau Eric akan membentaknya.

Prang!

Mentari terlonjak kaget, saat melewati ruang pribadi Eric, ada suara keributan di dalamnya. Karena rasa penasaran yang amat tidak bisa ia pendam, Mentari mendekatkan telinganya ke pintu.

"AYAH BENAR-BENAR AKAN MENIKAHKANKU DENGAN WANITA ITU?!" bentak Erthan.

"Kenapa? Kau ingin menyelamatkan gadis itu, kan?" tanya Eric sembari tersenyum miring.

"Tapi tidak dengan menikahi Olivia!"

Mata Erthan memerah, memancarkan amarah yang ia pendam sedari tadi.

"Harus, Erthan. Kau bilang kau menyetujui pernikahan ini, maka ayah akan membebaskan gadis itu," ucap Eric.

"AKU HANYA MENCINTAI DIA! SELAMANYA HANYA DIA!"

"ERTHAN!" kali ini, gantian Eric yang meninggikan suaranya.

"Kau adalah putra yang paling ayah sayang, ayah hanya ingin yang terbaik untukmu! Gadis itu penipu! Dia penipu!"

"Aku putra yang paling ayah sayang? Bagaimana dengan kak Ekal? Dia juga putra ayah, kenapa tidak ayah nikahkan saja Olivia dengan kak Ekal!"

"Berhenti membicarakan Ekal, dia hanya perlu fokus pada pelajarannya. Dan kau harus menikahi Olivia, dan melupakan gadis penipu itu." Eric memejamkan matanya, mencoba menahan emosinya.

"Tidak, dia bukan penipu, ayah. Dia gadis yang—"

"Cukup! Sekarang pilihannya ada di tanganmu. Ingin batal atau lanjut? Jika batal, nyawa gadis itu taruhannya," ujar Eric.

Tanpa menjawab pertanyaan sang ayah,Erthan melenggang pergi dari ruangan itu. Namun di depan pintu, ada seorang gadis dengan mata berkaca-kaca menatap sendu dirinya.

"Men—"

Sebelum Erthan berbicara, Mentari sudah berlari menjauhi dirinya. Untuk sekarang, dia tak akan mengusik gadis itu, dia akan memberi waktu gadis itu untuk menenangkan dirinya.

••••••




Bunga Terakhir [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang