18. Pasrah?

10 1 0
                                    

Erthan berjalan kearah kamar Mentari, dia ingin menjelaskan banyak hal pada gadis itu.

Perlahan ia membuka pintu kamar gadis itu. Ternyata Mentari masih berdiri di balkon, padahal ini sudah hampir tengah malam.

"Mentari," panggil Erthan.

Gadis yang di panggil menengok ke arah Erthan. Kemudian kembali memalingkan wajahnya menatap langit malam.

"Aku ingin menjelaskan sesuatu," ujar Erthan. "Tatap aku."

Mentari menghembuskan nafasnya dan menatap Erthan. "Ada apa?" tanyanya.

"Ini soal yang kau dengar tadi siang," ujar Erthan lirih.

"Kenapa?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Mentari mampu membuat Erthan mengernyit.

"Kenapa kau mau mengorbankan dirimu demi menyelamatkanku? Dan sekarang kau ingin membatalkan pertunangan yang sudah di siapkan ayahmu dengan megahnya? Kau tidak memikirkan bagaimana kecewanya ayahmu? Dia sudah menyiapkan banyak hal, Erthan." Mentari menatap sendu ke arah pria di depannya itu.

"Itu karena aku mencintaimu! Cukup?!" Erthan menatap gadis di depannya dengan nafas yang memburu.

"M-maksudmu?"

"Apa perlu di jelaskan lagi?"

Mentari menunduk dan menghembuskan nafasnya. "Bertunanganlah dengan Olivia," ujarnya.

Erthan di buat bungkam oleh gadis di depannya. Apa maksudnya yang menyuruh dirinya bertunangan dengan Olivia?

"Apa maksudmu?! Kau ingin menyudahi hubungan kita yang sama sekali belum di mulai?" Erthan menatap tajam ke arah Mentari.

"Ya."

"Bodoh!" kata itu terlontar begitu saja dari mulut Erthan.

Erthan menghembuskan nafasnya. "Lebih tepat aku yang bodoh! Aku bahkan rela berdebat panjang lebar dengan ayahku hanya demi hubungan kita. Tapi....tapi kau malah ingin menyudahinya?"

"Karena apa, Mentari?" tanya Erthan dengan nada lirih.

"Karena jika pertunangan itu di batalkan, nyawaku dalam bahaya," celetuk Mentari.

Erthan hanya diam setelah mendengar penuturan Mentari. Kemudian tersenyum miring. "Oh, berarti ayah benar. Kau itu wanita licik! Kau benar-benar licik! KAU HANYA MEMEMENTINGKAN DIRIMU SAJA!" bentak Erthan.

Mentari menunduk dan tanpa sadar air mata membasahi pipinya.

"Baiklah, jika kau hanya mementingkan nyawamu, aku pergi. Dan ingatlah, bahwa aku benar-benar menyesal bertemu denganmu!" Setelah itu, Erthan pergi dari kamar Mentari dan menutup pintu dengan keras.

Brakk!

Mentari limbung dan jatuh ke lantai, ia seolah tidak mempunyai tenaga sama sekali. Pundaknya bergetar, tanda kalau ia sedang menangis.

"Maaf," gumam gadis itu.

Mentari terus menangis di dalam kamarnya sampai fajar memunculkan cahaya mentari pagi yang indah.

••••••

26 Maret 1987

Erthan menatap kosong ke arah langit langit kamarnya, kini ada beberapa pelayan yang sedang membantunya bersiap. Hari ini, bukanlah hari yang baik untuk dirinya. Hari ini adalah hari pertunangannya dengan Olivia, Sejujurnya dia benar-benar tak ingin bertunangan dengan gadis itu.

Memejamkan matanya sejenak kemudian berujar pada para pelayan, "Kalian pergi saja, saya bisa menyiapkan diri saya sendiri."

"Baik, Tuan muda." Para pelayan kemudian pergi meninggalkan kamar Erthan.

"Huft, bisakah aku mengulang waktu? Jika bisa, aku tidak akan masuk ke kamar itu," gumam Erthan.

Jujur ia masih tidak percaya dengan kejadian semalam, mau di sebut mimpi, tapi itu benar-benar kenyataan. Tapi bagaimana bisa gadis itu mengatakan hal seperti itu? Tidak, Erthan benar-benar lelah dengan semua ini.

Ia segera memakai Jas-nya dan jam tangan miliknya. Erthan segera keluar dari kamarnya, berjalan kearah ruang tamu yang sudah terdapat banyak orang.

"Erthan," panggil seseorang yang tak lain adalah Ekal.

"Kak—"

"Jika memang kau keberatan dengan pertunangan ini, kau tidak perlu memaksakannya, Erthan." Ekal menepuk pundak Erthan.

"Tidak! Aku tidak keberatan dengan pertunangan ini," ujar Erthan dengan nada ketus.

Ekal menghembuskan nafasnya. "Matamu tidak bisa berbohong," celetuknya.

"Kak, ak—"

"Erthan, ayo turun. Kau sudah di tunggu para tamu." Elya tiba-tiba datang dan memotong pembicaraan mereka.

"Baik, ibu."

Elya dan Erthan berjalan menuruni tangga. Ekal yang melihatnya menghembuskan nafas, dia sangat mengerti kalau Erthan benar-benar terpaksa.

Bruk!

Tiba-tiba dari belakang ada seorang gadis yang tak sengaja menabraknya. Gadis itu menggunakan seragam seperti pelayan lain.

"Maaf, Tuan. Saya benar-benar minta maaf, tolong maafkan saya," ujar Pelayan itu.

"Ah, tidak apa-apa. Tapi tunggu, kau....Ayu Sandriyana Mentari, kan?"

Mentari menatap Ekal. "A-ah, iya Tuan. Ada apa?" tanyanya.

"Kau tidak mau memberhentikan pertunangan ini?" tanya Ekal yang membuat Mentari mengernyit heran.

"Memberhentikan pertunangan ini?" Mentari balik bertanya pada Ekal.

"Ya, kau rela jika Erthan menikah dengan wanita itu?"

Mentari hanya diam saja tak menanggapi pertanyaan Ekal.

"T-tuan aku ada banyak pekerjaan, jadi aku pergi dulu," pamitnya pada Ekal.

Mentari segera pergi dari hadapan Ekal. Dia merasa tidak aman jika terus berhadapan dengan Ekal seperti ini.

Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang menatap mereka dengan tatapan tajam. "Memang benar-benar wanita licik."

••••••

Bunga Terakhir [Selesai]Where stories live. Discover now