ATWE#6

85 20 4
                                    

Gak ada ide lagi, rasanya mau ku hapus aja cerita ini tapi sayang banget. Tolong dong bantu promosikan, biar aku juga makin semangat. Adakah yang punya ide untuk chapter yang akan datang?

"Jadi gini, beberapa hari lalu kami nikah," ucapku memberitahu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi gini, beberapa hari lalu kami nikah," ucapku memberitahu.

"Apa? Salah denger kali ya? Mungkin setelah ini harus periksa telinga," kata Evodia linglung, dengan tangan memggosok-gosok telinganya.

"Gak, kamu gak salah dengar!"

"Wah prank ya? Jangan bohong deh." Evodia masih terus menyangkal kebenarannya.

"Percaya gak percaya itu memang kenyataannya, ujarku jengah.

"Yaudah, aku pulang dulu ya? Masih bingung aku." Evodia mulai beranjak, ketika melewati Gardanta ia berucap, "urusan kita belum selesai, tunggu aja!"

"Apaan? Gue gak takut sama lo. Lo pikir lo siapa?" Gardanta menantang.

"Masih muda udah nikahin anak orang, mau dikasih makan apa istrinya, Dek?" kata Evodia dengan senyum mengejek.

"Asal lo tau, kita di jodohin. Lo kira gue mau sama temen lo yang kayak gitu? Gak banget."

"Dih, awas aja lo."

Aku menggeleng melihat tingkah mereka yang ke kanakkan. "Udah jangan berantem."

Setelahnya, Evodia pun pergi, ia sepertinya marah dan kecewa, tapi biarkan saja dulu karena mungkin dia butuh waktu untuk mengerti.

"Temen lu aneh, bisa-bisanya manusia kek lu temenan sama dia!"

"Ucapanmu, Anta, bisa lebih di kontrol?"

"Gak usah ceramah, ikut gue," Gardanta menarik tanganku dan secara paksa mendudukkanku di kursi belajarnya.

"Nih lu bantu gue ngerjain tugas matematika." Gardanta melemparkan sebuah buku B5 ke atas meja.

Aku hanya bisa menggeleng menghadapi sifatnya yang suka ngelunjak, gak tau malu, gak sadar diri, ketas kepala, selalu ingin di turuti, nakal, dan lain sebagainya.

"Ijhad wala taksal!¹"

"Apaan dah? Gue gak paham, pake bahasa manusia aja napa," ujarnya, kesal, jujur saja bahwa wajah kesalnya itu menurutku sangat lucu, apalagi dengar kata-katanya barusan.

"Itu juga pakai bahasa manusia."

"Iya, manusia alien, sama-sama makhluk kan itu?"

Aku terkekeh sebentar. "Kok malah jadi gak jelas gini? Tadi itu artinya 'bersungguh-sungguh dan janganlah kamu malas'," jelasku.

"Gitu? Maksudnya gue harus ngerjain sendiri?" Tanyanya. Rasanya aku ingin tertawa, tapi aku hanya membalas pertanyaannya dengan anggukan kepala.

"Ogah, gue gak bisa."

"Jangan menyerah dulu sebelum mencoba. Aku yakin kamu pasti bisa."

"Gak mungkin, orang gue aja goblok."

Aku terkejut mendengar ucapannya. "Astagfirullah mulutnya, dengerin, manusia bodoh itu gak ada, yang ada hanya manusia pemalas hingga menjadikan mereka kurang pintar."

"Udahlah lu kerjain aja, gue sibuk, mau keluar sama Amartha," kata Gardanta.

Amartha? Ah nama itu membuat hatiku sakit, menjadikan senandika² menjerit.

"Kamu gak boleh pergi dulu, selesaiin tugas kamu dulu sebagai pelajar, itu merupakan kewajiban pribadi. Aku gak mau ngerjain nya, tapi aku bisa bantu ngajarin kamu."

"Ribet tau gak?"

"Ya sudah, kalo gitu bilang aja sama mama papa kamu kalo kamu udah gak mau sekolah,"

"Ya kali, bisa di coret dari KK gue, apalagi ntar gue gak bisa ketemu temen dan pacar gue."

"Yaudah, coba kerjain gih, ntar kalo kesulitan baru tanya aku, setelah selesai jangan lupa kasih ke aku dulu, biar aku koreksi."

"Lu adalah manusia ter riweh yang pernah gue temuin."

"Terserah apa katamu. Kerjain dengan tenang dan konsentrasi, jangan buru-buru."

"Iya tergantung nanti."

Alzawjat Tasheur Waka'anaha Eabda (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang