Atwe#10

70 11 6
                                    

Garing ya? Haha maaf. Kelamaan ya sampe buat kalian lupa alur? Sama kok aku juga.

 Kelamaan ya sampe buat kalian lupa alur? Sama kok aku juga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Gue mau nikah sama Martha." Kata Gardanta kala itu.

"Apa kalian gila?"

"Paan dah, lu kali yang gila."

Aku menghela nafas lelah dan pasrah. Aku tak bisa melarang atau sekedar memberi tahu orang tua kita, karena aku tau, disini aku lah yang menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka.

"Kapan? Apa tante dan om tau?"

"Gila aja kalo mereka tau, bisa² di depak dari daftar ahli waris gue," ujar Gardanta, ringan.

"Kalian yakin?" tanyaku memastikan.

"Yakinlah. Ribet amat lu," kata Amartha.

"Apa kalian tahu? Menikah bukanlah hal mudah."

"Ya kami tau, maka dari itu gue mau lu yang nyiapin semua urusannya," katanya ringan seolah itu bukanlah hal besar.

Aku semakin menggeleng tak percaya. "Aku ini istri kamu Garda!"

"Justru itu, lu kan istrinya, sebaiknya lu bantu dia dong."

"Oke," kataku dengan berat hati. "Kalian maunya kapan?"

"Besok!"

"Hah?"

"Iya, lebih cepat lebih baik bukan? Dan ya, jangan sampai ada yang tau, gue mau ini berjalan lancar walaupun cuma ijab qobul doang tanpa pesta."

"Yaudah gue mau pergi dulu," pamitnya. "Yok sayang," ajaknya pada Amartha.

"Iya sebentar, kamu duluan aja," tahan Amartha yang langsung dilaksanakan oleh Gardanta.

"Lo lihat? Garda akan jadi milik gue, cepat atau lambat lo bakal dibuang." Amartha terkekeh mengejek.

"Aku tau Garda sukanya sama kamu, tapi bagaimanapun aku masihlah istri sah nya."

"Cih, gak ada gunanya banget gue ngeladenin orang kek lu. Inget ya, gue gak mau acara gue besok kacau gara-gara lo," katanya, sembari jari telunjuknya mendorongku.

"Ya, kamu tenang aja."

Amartha beranjak pergi meninggalkanku yang hanya bisa tersenyum tipis menanggapi tingkah mereka.

Aku diam termenung, berharap ini hanya sebuah fatamorgana¹ ataupun mimpi yang tidak akan menjadi kenyataan. Namun, sekuat apapun aku menyangkal, nyatanya ini tetap sebuah fakta. Itu semua membuatku gundah gulana².

"Gimana ya? jujur aku gak rela tapi ini semua demi kenyamanan bersama," monologku.

Akhirnya aku mengabari beberapa orang yang bisa menikahkan mereka besok. Tak lupa, aku juga menyuruh Evodia kemari besok.

~SKIP BESOK~

Pernikahan berjalan lancar, aku menyaksikannya dengan lara yang menusuk relung hatiku. Di sampingku ada Evodia yang hanya diam.

"Ra, apa maksudnya ini?" tanyanya pelan, aku hanya meliriknya sekilas. "kamu hutang penjelasan sama aku!"

"Kamu diem aja, aku bakal jelasin ini semua nanti, oke?" kataku lirih.

"Oke."

"Ayo kesana," ajakku agar Evodia mengikuti berjalan kearah dimana Gardanta dan teman-temanya, dan jangan lupakan istri barunya yang selalu menempel padanya.

"Selamat ya bro, gue gak nyangka akhirnya kalian official juga."

"Yoi cepet-cepet nyusul lo pada."

"Gue tunggu keponakan buat kita ya."

"Haha doa in aja."

"Selamat ya atas pernikahan kalian berdua." Aku mengulurkan tangan, mengajak kedua mempelai itu bersalaman.

"Ya."

Tanganku menggantung di udara, membuatku melirik sebentar dan menurunkannya. Apa-apaan itu? hanya ucapan 'ya?' bukankah itu terlalu tidak tau diri, bahkan ucapan terima kasih saja tidak mereka ucapkan, padahal sudah jelas aku lah yang membantu dalam acara ini.

"Biasakan ngucap makasih," tegurku yang tentu saja diabaikan mereka.

Aku pergi dari situ. "Vo, aku boleh numpang sebentar aja gak di rumah kamu?"

"Boleh, ayok."

Aku dan Evodia kerumahnya. Kita langsung saja menuju ke kamar, kebetulan rumah Evodia sepi karena orang tuanya bekerja.

"Apa tadi? bisa kamu jelasin sekarang?" tanyanya lembut tapi tegas.

"Ya seperti yang kamu lihat tadi, mereka menikah siri."

"Ra?"

"Udah ya vo, aku capek mau istirahat dulu."

"Kamu harus jelasin secara detail. Apa kamu gak sakit hati?" Intonasi nada Evodia meninggi, menandakan dia sedang emosi.

"Sakit? of course³. Perempuan mana yang gak sakit lihat suaminya nikah lagi? parahnya, disitu akulah yang membantu mereka menyiapkan itu."

"Lalu kenapa kamu mau di poligami?"

Aku menggeleng lemah. "Aku juga gak mau, tapi masalahnya aku sadar diri bahwa akulah orang ketiga dalam hubungan mereka. Entah sejak kapan mereka menjalin hubungan, tapi yang ku tau mereka saling men-" Rasanya lidahku kelu untuk melanjutkan, dadaku sesak.

Evodia diam. Ia mengelus bahuku. "Kalo mau nangis, nangis aja, gausah di tahan."

Aku tak meresponnya. Air mataku menetes, membasahi niqob yang ku gunakan.

"Aku mau pulang dulu. Makasih ya."

"Loh? Gak nginep disini aja?

"Engga. Makasih banyak ya vo." Ujarku, lalu aku keluar dari rumah itu.

Sesampainya di apartemen, ternyata sepi, tidak ada teman-teman Gardanta yang selalu berisik. Ku lihat di sofa ada Gardanta dan Amartha yang sedang menonton tv.

"Pasangan baru, sangat romantis bukan? Bahkan aku yang sudah lumayan lama di sini tak pernah sekalipun seperti itu dengan Garda," monologku.

"Assalamu'alaikum." Salamku, tanpa menunggu jawaban aku langsung ke kamar.

"Waalaikumussalam."

Aku membersihkan diri. Tak lama, Gardanta masuk ke kamar.

"Lo kenapa?" Ku tolehkan wajah ku kepadanya.

"Kenapa apanya? Gapapa, aku baik-baik aja." Kami saling tatap. Ku pandang wajahnya yang tampan, iris mata yang coklat terang.

Setelah bertanya seperti itu, ia langsung beranjak ke kamar mandi.

Alzawjat Tasheur Waka'anaha Eabda (END)Where stories live. Discover now