* * * *

Sharma menjatuhkan dirinya ke rerumputan di pinggir danau teratai. Matanya menatap dahan pohon yang menjadi pelindungnya dari terik matahari siang. Beruntung angin di pinggir danau sangat menyegarkan. Jika tidak, keringat pasti sudah membasahi bajunya.

"Huft." Sharma menghembuskan nafas kasar. Sungguh melelahkan. Ini masih sebagian, bagian depan belum ia hitung.

Pangeran Giler berdiri di pinggir danau sambil memandangi bunga teratai yang masih bermekaran. Ia melirik sekilas ke belakang. "Lelah?"

Sharma memutar bola mata jengah. Dirinya sudah tepar di tanah tapi masih saja ditanya.

Untung tampan. Kalau tidak, sudah ku tendang wajahnya itu.

"Haus?" tanya Pangeran Giler yang sudah berbalik ke arah Sharma.

Sharma mengangguk. "Haus sekali. Bisakah kau mengambilkan air minum untukku? Di sini tidak ada pelayan."

Pangeran Giler menghela nafas. Seharusnya ini pekerjaan pelayan pribadi Sharma. Namun karena Sharma masih dalam masa hukuman, maka Sharma tidak boleh ditemani oleh pelayan pribadinya. Pangeran Giler berjalan ke arah lain. "Tunggulah di sini. Jangan mencoba untuk kabur."

Sharma memejamkan mata karena lelah. "Hm. Aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk kabur. Cepatlah, nanti aku bisa mati kehausan."

Pangeran Giler sudah tidak terlihat lagi di sekitar danau. Hanya ada Sharma yang ditemani oleh semilir angin. Karena ia memejamkan mata, ia tidak menyadari bahwa ada sosok berjubah hitam yang memperhatikan dirinya dari balik pohon yang terletak tidak jauh dari tempatnya berbaring.

Sosok itu menyeringai. Aura di sekelilingnya menjadi sangat menakutkan. Dengan gerakan secepat angin, sosok itu sudah berdiri di samping Sharma yang masih belum menyadari sosoknya. Sosok itu kembali menyeringai.

Sring

Pisau kecil yang mengkilat siap melenyapkan nyawa Sharma yang masih santai menikmati angin. Tangan yang memegang pisau itu terangkat untuk menancapkan pisaunya.

Sret

Sosok itu mengelak dari serangan tak terlihat. Walaupun sempat menghindar, namun serangan tak terlihat itu berhasil melukai wajahnya. Darahnya terpercik ke pohon yang ada di belakang. Sebelum ada serangan berikutnya, sosok itu sudah bergerak cepat meninggalkan Sharma yang masih tidak tahu bahwa beberapa detik yang lalu nyawanya terancam.

"Kau tidur atau mati?"

Suara berat namun merdu itu menyapa telinga Sharma. Sharma membuka kelopak matanya dengan sempurna. Yang pertama ia lihat adalah wajah tampan Kaisar. Kaisar berdiri di dekat kepalanya, lurus dengan arah tubuhnya.
Dari bawah saja ia sudah tampan. Dan untung saja Yang Mulia memakai celana, jika memakai rok, aku bisa mencuri lihat.

Sharma bangun dan langsung berdiri. Matanya menatap Kaisar langsung. Terkadang ia terlalu berani saat berhadapan dengan Kaisar, namun kadang tiba-tiba nyali itu hilang entah kemana.

"Mati mungkin lebih baik," jawab Sharma asal.

Kaisar tidak menanggapi jawaban nyeleneh dari Sharma. Mata tajamnya terus menatap wajah Sharma yang sedikit berkeringat. Sepertinya percuma memberikan hukuman untuk calon Selirnya yang satu ini. Tidak ada hasil dan hanya membuang-buang waktu. Calon Selirnya ini semakin lama akan semakin berani.

Namun satu yang Kaisar yakini. Walaupun gadis ini berani dalam melawan titahnya, namun gadis ini tidak akan berani membunuhnya. Gadis ini terlalu bersih untuk memiliki niat busuk. Walaupun ia tahu Sharma adalah Amora - sang penyihir putih. Namun walaupun penyihir putih, tidak berarti aman untuk manusia biasa.

"Pergilah ke kediamanmu."

Sharma mengangkat sebelah alisnya. Maksudnya? Apakah aku dipulangkan ke desaku?

"Maksud Yang Mulia apa? Apakah aku akan di pulangkan ke paman Ajoz?" tanya Sharma dengan antusias. Akhirnya ia bisa pulang ke kediaman Ajoz.

"Hanya dalam mimpimu," tegas Kaisar. "Hukuman sudah ku anggap selesai. Sekarang silahkan kembali ke kediaman calon Selir."

Sharma menghela nafas. Ternyata ia salah. Tapi ini lebih menguntungkan dari pada harus meneruskan menghitung jumlah penjaga. Sharma langsung tersenyum dan membungkuk hormat. "Terima kasih, Yang Mulia. Kalau begitu hamba akan pergi." Sharma berbalik badan tanpa memberikan penghormatan. "Sampai jumpa." Sharma melambaikan tangan tanpa menoleh kebelakang.

Kaisar kesal, namun percuma saja, ia tidak bisa menghukum Sharma. Entah apa sebabnya, ia pun tidak tahu. "Terserah apa maumu."

Tak sengaja mata Kaisar melihat bercak darah yang ada di batang pohon. Kaisar menajamkan penglihatannya. Dari teksturnya, sepertinya darah itu baru saja terpercik di sana. Kaisar beralih menatap punggung Sharma yang sudah cukup jauh.

"Ada apa sebenarnya?" tanya Kaisar entah pada siapa. Yang jelas hanya terdengar oleh dirinya sendiri.

Kaisar & Sang AmoraWhere stories live. Discover now