20. Napak Tilas pt2

122 14 11
                                    

HAII APA KABARNYA???

HARI SENIN BERARTI JADWALNYA UPDATE YA👍

HOPE U ENJOY^^

Happy reading ❤️

Inara mengusap keringat yang ada di pelipisnya. Sambil menghela napas, ia berdiri dan menuju ke kran untuk membersihkan tangannya dari tanah. Ia baru saja selesai menanam pohon sendirian. Setelah selesai, ia memilih untuk mengambil Tote bag yang diberikan oleh OSIS SMATUSA, yang berisi Snack ringan.

Saat ingin melangkah pergi, salah satu OSIS, menghentikannya katanya ingin memberi nasi box, tapi Inara berbohong mengatakan bahwa ia sudah memakannya. Padahal, ia belum makan ia tidak napsu, yang ingin dilakukan nya sekarang hanyalah turun ke bawah dan pulang saja. Nanti, ia bisa berbohong pada Yusuf, kalau tidak enak badan dan langsung pulang.

Inara menuruni beberapa anak tangga. Setelahnya, berjalan di atas aspal yang jalannya penuh tikungan dan curam. Rasanya lebih melelahkan, daripada tadi waktu berjalan ke puncak, tempat untuk menanam pohon. Kakinya sudah terasa pegal karena ia harus mengerem dengan menggunakan kakinya sendiri. Saat naik, terlihat ngos-ngosan sedangkan pas turun, melaju melampaui batas.

Inara melihat pohon besar dipinggir jalan. Ia memilih untuk menepi, dan duduk disana saja, sambil mengatur napasnya yang tidak beraturan.

Kedua kakinya ia luruskan, sesekali memijatnya. Biarkan saja, ia menjadi tontonan siswa SMATUSA yang melewatinya. Pasti mereka heran kenapa duduk sendirian, sedangkan mereka berjalan dengan temannya.

Ya, itu temanmu bukan temanku!

Inara mencebik kesal, ia tahu mereka punya mata. Tapi kenapa menatapnya sampai seperti itu. Raut wajahnya mendadak datar, saat ia melihat sebuah tangan terulur memberikannya, nasi box.

"Buat lo,"

Inara mengerutkan keningnya. Mereka teman sekelasnya Wildan. "Eh?"

"Tadi Wildan lihat ada yang belum dapet nasi box. Nih, lo makan." Siti menyerahkan nasi box kepada Inara.

"Lo yang tadi sama Ucup, 'kan?" tanya Deana di sampingnya.

"Iya."

"Lo ngapain disini sendiri? Mau bareng nggak?" tawar Deana diangguki Siti.

"Ng-nggak usah, nanti aja. Aku mau istirahat dulu," kilah Inara.

"Oke, deh. Nggak papa gue duluan ya," pamit Deana dan Siti melambaikan tangan.

Inara membuka nasi box setelah mereka pergi. Ia merasa heran, saat mendapati jam tangan Wildan ada didalam. Apa ini akal-akalan Wildan? Tapi untuk apa. Ia memasukannya kembali, Untung saja mereka tadi tidak curiga dan membuka nasi boxnya.

Telinga Inara menahan saat mendengar, suara tawa terbahak-bahak. Itu, Edwin! Teman Wildan, yang sedang turun ke bawah, ada Ariel dan juga Tito. Tentu saja ada Wildan. Berbeda dengan Ariel yang saat terkena keringat terlihat sexy, Wildan malah semakin terlihat tengil.

"Omaygat!" seru Wildan tiba-tiba membuat mereka berhenti berjalan.

"Ngapain?" tanya Ariel.

"Jam tangan gue ketinggalan," sahut Wildan melirik ke arah Inara, membuatnya mengerti.

"Gimana sih!"

"Gue ambil dulu, kalian duluan aja," suruh Wildan.

"Sana Ed, temenin. Nanti ilang, repot!" ledek Tito membuat yang lain tertawa.

"Diem, Tit!" balas Wildan sengit.

"Kita tunggu dibawah," ujar Ariel berjalan duluan. Membuat yang lain mengikuti.

AMBIVALEN (End)Where stories live. Discover now