2. Jenny Luciana

294 36 12
                                    

HALLO INI LENY🌺

OKE-OKE KARENA TARGET TIDAK TERPENUHI, JADI AKU BAKAL UPDATE
SECEPATNYA AJA YA?

JADI KALAU SEMISAL SEMINGGU DUA KALI GIMANA 😚

SIAP BERTEMU DENGAN INARA DAN WILDAN?!

KALIAN BACANYA PAS SIANG, MALAM, ATAU SORE NIH?

OKE CUS AJA YA<3

Happy reading ❤️

Langkah Wildan terhenti di depan pintu kelas. Matanya tertuju pada perempuan dengan rambut sebahu yang sibuk dengan alat make up nya. Ia bersiul lalu berjalan mendekat. Siap melontarkan gombalan maut untuknya.

“Pergi ke pasar beli batik,”

“Cakep!” sahut Edwin, duduk di belakangnya.

“Lah, gue pikir gak ada orang.” kata Wildan terkejut.

“Yaelah, lo mah, fokus ke Jenny doang,” balas Edwin.

“Cantik, sih.” Wildan mengedipkan sebelah matanya.

“Dih,” cibir Edwin.

“Gue mau pantun, lo bantu ya, Ed,” minta Wildan langsung diacungi kedua jempol oleh Edwin.

“Pergi ke pasar beli batik,”

“Cakep!”

“Selamat pagi, Jenny cantik.”

“Hiya hiya!”

Wildan mendudukkan pantatnya di sebelah Jenny. Duduk bersama aja, sering membuat jantungnya deg-degan. Ia menatapnya dengan kagum, Jenny sangat cantik.

“Jen,” panggil Wildan.

“Apa?” tanya Jenny Luciana perempuan dengan rambut sebahu, kulitnya seputih susu dengan bibir yang seksi. Membuat siapapun tergoda.

“Lo kok, cantik banget, sih?” tanya Wildan gemas.

“Gue emang cantik,” jawab Jenny percaya diri.

Mendapat pujian seperti itu, sudah jadi hal yang lumrah terjadi. Jenny pun, tidak keberatan, ia juga merasa sangat senang.

“Jen, lo pilih yang setia, apa yang berduit?” tanya Edwin iseng.

“Berduit, dong!” seru Jenny.

“Matre!” ejek Tito memasuki kelas.

Jenny memutar bola matanya, sedikit merasa tersinggung. “Lo, pikir beli skincare pake daun?” tanyanya kesal.

Tidak hanya skincare yang selalu Jenny gunakan. Baju-baju miliknya juga sering ganti, sepatu, high heels dan juga saat perawatan di salon. Itu semua ia lakukan agar selalu terlihat cantik. Karena dalam kehidupannya, orang yang cantik selalu dibanggakan dan kenyataannya memang seperti itu.

“Ngeri,” gumam Wildan.

Edwin tersenyum meledek, saat melihat Wildan hanya geleng-geleng kepala. Padahal sudah jelas bahwa Jenny memang perempuan matre, tapi entah kenapa sahabatnya itu terus mengejarnya. Cinta buta!

“Jen, lebih pilih Wildan, apa Ariel?”

Jenny menghentikan make up-nya ia menatap Wildan yang begitu berharap padanya. Lalu beralih menatap Edwin. “Gue pilih, Ariel.”

“Yah, kok, gue nggak lo pilih, sih?” tanya Wildan pura pura merajuk.

“Kenapa?” pancing Edwin.

AMBIVALEN (End)Where stories live. Discover now