Sembilan Belas

510 87 18
                                    

"Sekarang Pak Abraham dimana?" tanya Jendra dengan sedikit kepanikan dalam nada bicaranya.

"Di ruang Pak Dirut" jawab Viona apa adanya.

"Aduh, tamat gue" ucap Jendra pada dirinya sendiri. Jendra sama sekali tidak menduga kalau kakeknya akan langsung bertindak. Hari ini tidak ada dalam bagian rencana Jendra. Apalagi setelah hari pertemuannya dengan Irene, Jendra belum sempat berbicara lebih lanjut tentang bagaimana mereka akan menjelaskan hubungannya kepada orang tua Irene dan juga kepada Kakek Jendra.

Jendra segera bergegas menuju ruang direksi rumah sakit untuk mencegah hal-hal yang tidak dia inginkan. Namun langkahnya tertahan karena Viona menarik lengannya.

"Dok!"

"Hmm..." Jendra sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi bahkan untuk menjawab pertanyaan Viona.

"Don't ruin my expectation, ya. Semangat. You owe my many things. Ga mau tau pokoknya Dokter Jendra harus cerita."

"Hmm... Iya tapi ga sekarang, ya. Buru-buru nih. Emergency" jawab Jendra lantas bergegas pergi.

"Dok, ada Mas Arkaan juga, loh" ucap Viona setengah berteriak yang langsung membuat Jendra berlari lebih cepat.

Viona hanya bisa mendoakan yang terbaik sambil menatap Jendra dari kejauhan. Semoga Jendra tidak mendapatkan kemurkaan dari sang Kakek karena ulahnya mengobrak-abrik susunan perjodohan. Tapi, bukan Jendra Wiguna Malik kalau tidak melakukan hal diluar dugaan seperti yang ia lakukan.

•••

Jendra berulang kali menghela napas sebelum masuk ke dalam ruangan Direktur rumah sakit yang merupakan ayah dari Irene.

Tepat saat Jendra akan menyentuh kenop pintu, seseorang keluar dari dalam ruangan.

"Arkaan?"

Arkaan hanya menatap Jendra dengan senyum tipis di wajahnya.

"Masuk aja, Bang. Udah ditungguin di dalam. Gue udah selesai" ujar Arkaan sesaat setelahnya.

"I--iya, gue mau masuk kok" jawab Jendra terbata.

"Bang Jendra ga pernah berubah. Selalu aja seneng bikin heboh. But thanks, gue bisa sekalian ngomong ke Mbah Kung soal Viona. Good luck, Bang" kalimat terakhir Arkaan membuat Jendra akhirnya bisa bernapas lega. Itu pertama kalinya Arkaan mengucapkan sesuatu yang membuat Jendra bisa tersenyum.

Rasanya sudah lama sekali sejak mereka berdua berbicara dengan kasual seperti itu. Kecanggungan nyaris tak terasa dan rasanya Jendra ingin memeluk erat sang adik namun urung ia lakukan tatkala teringat bahwa ia harus segera bertemu dengan kakeknya.

"Lo juga. Selamat memperjuangkan Viona. Gue percaya sama lo" sahut Jendra, setelah itu ia pun masuk ke dalam ruangan.

Setibanya di dalam ruangan, Jendra terkejut karena kakeknya tersenyum cerah saat sedang mengobrol dengan Irene. Jendra seperti sedang bermimpi dan itu membuatnya terdiam sejenak sembari menyaksikan pemandangan langka di hadapannya.

"Dokter Jendra? Kok berdiri di situ aja? Silahkan duduk" suara ayah Irene seketika membuyarkan lamunan Jendra. Dengan langkah yang pelan, Jendra mendekat ke tempat duduk Irene dan kemudian duduk di sebelahnya.

"Ndra, Irene udah cerita semuanya" ujar sang Kakek setelah Jendra mengambil tempat duduk di sebelah Irene.

"O-ooh, gitu" Jendra hanya bisa menjawab seadanya. Jujur saja, Jendra bingung harus berkata apa karena dia tidak tahu tentang rencana Irene. Setelah pertemuan terakhir keduanya, mereka tidak pernah bertemu lagi untuk membahas perjodohan. Jendra tidak menyangka hari ini akan tiba. Ini bahkan lebih cepat dari dugaannya.

YouniverseNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ