Tiga Belas

585 120 15
                                    

"Misal Dokter Jendra punya pilihan sendiri tapi di saat yang sama Dokter Jendra harus ikut perjodohan keluarga, apa Dokter Jendra bakal tetap go with the flow?"

Langkah Jendra terhenti, tepat saat mereka sudah sampai di seberang kafe. Pertanyaan Irene barusan tiba-tiba saja membuatnya tertegun. Alasannya sederhana. Jendra tidak pernah memikirkan kondisi yang mungkin saja terjadi padanya.

Tapi, memangnya sekarang Jendra punya pilihan sendiri?

Kalau diberi pilihan, Jendra mungkin akan lebih memilih untuk tidak ikut perjodohan keluarga.

"Wah, pertanyaannya sulit Dok. Tapi kalo disuruh milih pastinya saya bakal milih untuk ngga ikut perjodohan keluarga. Lagian, ini udah tahun berapa masih ada tradisi beginian?" jawab Jendra sambil terkekeh kemudian masuk ke dalam kafe lebih dulu meninggalkan Irene yang terdiam sejenak setelah mendengar jawabannya barusan.

Irene sendiri tidak aneh dengan jawaban Jendra. Lagipula, Irene setuju dengan Jendra. Kalau kita bisa menentukan pilihan sendiri kenapa harus dipilihkan?

Setelah saling berterima kasih, mereka akhirnya berpisah dan pulang ke tempat masing-masing.

"Saras gimana, Ga?" tanya Jendra saat mereka dalam perjalanan pulang.

"Seperti yang lo lihat, Bang. Cantik, pinter, baik hati dan tidak sombong. Mungkin rajin menabung juga" jawab Dirga seadanya.

"Standar banget jawaban lo. Lo ga ada percikan-percikan apa gitu pas ngobrol sama dia tadi?"

"Percikan apaan? Emang dia minyak pake percikan segala?"

"Bukan gitu, maksud gue. Ya kali aja lo tertarik gitu sama dia?"

"Gue tadi rada grogi sih, padahal gue ngga ada perasaan apa-apa sama dia. Mungkin gue udah terlalu lama single kali ya Bang? Masa ngobrol gitu doang grogi? Gue sampe mikir apa gue harus konsultasi sama Abim ya biar ga grogi?"

Jendra lantas tertawa mendengar ucapan Dirga. Jawaban yang sangat berbeda dengan penampilan Dirga biasanya. Sebagai seorang General Manager tentu Dirga bukan orang yang tidak memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Tapi sepertinya Dirga memang kurang pengalaman dalam menghadapi perempuan.

"Ketawa aja, gue ga bakal marah. Tapi gue bersyukur banget tau, Bang."

"Kenapa?"

"Si Saras ternyata udah punya pilihan sendiri."

"Eh? Serius lo?"

"Iya, jadi tadi tuh kita malah ngobrolin soal pendapat masing-masing tentang perjodohan keluarga. Awal-awal aja sih gue grogi. Tapi overall dia anaknya asik jadi bisa gampang akrab."

"Dia yang udah punya pilihan sendiri kenapa lo yang bersyukur?"

"Ya, karena itu berarti gue ga perlu nerusin perkenalannya lagi."

"Misal Mbah Kung nyuruh lo kenalan lagi sama orang lain gimana?"

Dirga lantas terdiam dengan pertanyaan Jendra. Apa kakeknya masih akan memaksakan jika hasilnya seperti hari ini? Diam-diam Dirga berdo'a semoga saja itu tidak terjadi.

"Ya udah kalo gitu ntar gue bakal nyari sendiri. Btw kalo di rumah sakit tempat Bang Jendra ada yang single, kasihtau gue ya Bang. Kali aja gue bisa kenalan."

Jendra kembali tertawa mendengar jawaban Dirga yang terdengar putus asa.

"Daripada nyari di rumah sakit, mending lo nargetin klien lo aja, Ga."

"Ih, kalo istri orang gimana?"

"Hahahaha, kok lo tiba-tiba parno gitu sih?"

"Udah ah, nanti aja dibahas lagi. Gue tiba-tiba ngeri bayangin suka sama klien yang ternyata udah punya suami. Eh, ngomong-ngomong lo tadi beneran kencan sama Dokter Irene, Bang?"

YouniverseWhere stories live. Discover now