Delapan

631 125 35
                                    

"Jadi gimana?" Abim melontarkan pertanyaan begitu yang lain sudah duduk bersama di kafetaria rumah sakit. Di antara lima orang yang ada di sana, Abim memang yang belum tahu sama sekali perihal rencana yang dicetuskan oleh Qilla.

Selama ini Qilla lebih banyak berdiskusi dengan Gala ataupun Jara. Maklum, Abim terlalu sibuk dengan pemotretan di sana-sini. Memang bukan Abim yang jadi modelnya, meski sebenarnya Abim tidak jelek-jelek amat kalau mau jadi model. Tapi, Abim termasuk salah satu fotografer profesional yang dikenal banyak orang di dunia fashion.

"Mungkin Mba Kira ngejelasin tentang sanggar seninya dulu kali, ya? Biar Abim juga tau" ujar Qilla sebagai jawaban dari pertanyaan Abim.

Kira pun mengangguk dan mulai menjelaskan.

"Saya punya sanggar seni yang diwariskan almarhum ayah saya. Tapi karena keterbatasan dana, saya ga bisa ngembanginnya. Saya udah ngobrol sama Qilla dan waktu itu Qilla bilang kalau dia punya rumah baca yang dirintis bareng Mas Gala, Mas Abim sama Mas Jara. Qilla ngajakin saya buat ngajar anak-anak di rumah baca, termasuk nawarin proyek mural buat rumah baca kalian" jelas Kira.

Abim mengangguk mendengar penjelasan Kira.

"Gimana menurut lo, Bim?" tanya Gala setelah mendengar penjelasan Kira.

"Gal, bisa ga kalo nyoba ngusulin ke perusahaan?" kata Abim.

"Gue udah pernah bahas ini sama Qilla soal rencana kita nyekolahin anak-anak di rumah baca. Tapi lo tau sendiri kan kalo yayasan amal perusahaan tuh rada strict masalah dana? Maksudnya kayak mereka udah nentuin mau dikemanain aja dananya."

"Kalo gue sih oke aja. Lagian bagus juga kalo anak-anak diajarin hal yang baru semisal ngelukis. Selama ini kan baca tulis aja. Lo gimana, Jar?" ujar Abim melirik Jara.

"Gue juga setuju, Bang. Mba Kira ngajarin anak-anak di rumah baca, nanti mungkin kita bisa mikirin ide fundrising buat sanggar Mba Kira" ucap Jara.

"Eh iya bener juga. Kenapa ga kepikiran ya?" kata Qilla.

"Kalo ga bisa minta ke perusahaan, kita kan bisa mikir buat fundrising di luar. Tapi kita perlu nyari tau dulu rencana Mba Kira buat sanggar seninya. Mau dijadiin galeri juga ga sih Mba?" ujar Jara.

Kira terlihat malu-malu kemudian mengangguk.

"Itu impian saya sejak dulu. Dan impian almarhum Ayah juga."

"Ya udah. Nanti kita bantu Mba Kira mikir buat fundrisingnya. Iya, ga?" ucap Qilla kemudian melirik pada Abim dan Gala. Keduanya terlihat mengangguk menyanggupi ajakan Qilla.

"Jangan bantu mikir aja, La. Bantu nyari dana juga" sahut Gala.

"Iyaa itu juga maksud gue, Bapak Gala" sungut Qilla dan langsung disambut tawa oleh yang lainnya.

Mereka bercengkrama cukup lama hingga akhirnya tiba saatnya mereka pamit pulang.

"Mba Kira ntar ikut gue sama Mba Qilla aja" Jara menawarkan untuk mengantar Kira pulang.

"Jar, bukannya rumah lo sama Qilla jauh ya? Qilla biar sama gue aja" Abim justru menawarkan diri. Gala melirik Abim dengan tatapan meledek karena Gala sudah tahu pasti Abim akan menggunakan kesempatan ini untuk berdua saja dengan Qilla.

"Ya udah gapapa sih, Bang. Biar gue anter Mba Kira pulang" kata Jara.

"Gue aja yang anter" akhirnya Gala membuka suara yang membuat keempat temannya melongo dan menatapnya dengan tatapan, "Serius lo Gal?"

'Memangnya cuma Abim doang yang bisa memanfaatkan kesempatan?' begitu kira-kira yang ada di benak Gala saat ini. Dia tidak tahu kapan bisa bertemu lagi dengan Kira, jadi ini adalah kesempatan berharga yang tidak boleh disia-siakan. Ada yang bilang kesempatan baik tidak datang dua kali. Jadi, Gala tidak ingin melewatkan kesempatan ini begitu saja.

YouniverseWhere stories live. Discover now