Empat Belas

477 100 13
                                    

Akhir pekan adalah hari yang sudah ditunggu-tunggu oleh Arkaan, karena itu artinya ia bisa bertemu lagi dengan Viona setelah beberapa waktu. Arkaan harus mengakui bahwa pertemuannya dengan Viona sebenarnya sangat tidak romantis. Tapi, pertemuan itu justru berkesan untuknya.

Arkaan ingin menertawakan dirinya sendiri karena sekarang dia sibuk berpikir apa saja yang akan dia katakan kepada Viona saat mereka bertemu nanti. Itu juga kalau jadi ketemu. Bisa saja kan Viona sedang ada kesibukan lain? Toh sebenarnya Arkaan ada temu janji dengan Dokter Irene, bukan dengan Viona. Tapi, ini bisa jadi kesempatan baik yang tentu saja sayang untuk dilewatkan.

Arkaan yang sedang menyembunyikan perasaan gembira sontak tertegun kala melihat Aksa yang sudah duduk manis di ruang tamu apartemennya. Ya, kemarin Arkaan sengaja menginap di apartemen untuk memudahkan Dirga datang menjemputnya. Tapi, siapa sangka yang datang justru Aksa?

"Loh, kok jadi lo yang ke sini, Sa? Jangan bilang lo yang nganterin gue ke rumah sakit" ujar Arkaan pada Aksa.

"Iya, Bang. Si Dirga tadi ketemu Mbah Kung dulu. Ternyata lumayan lama. Kayaknya dapat wejangan soal perjodohan dia yang kemarin" ucap Aksa sambil tersenyum.

"Tapi serius nih bisa nganterin?"

"Ya bisa-lah, Bang. Nganterin doang. Dirga tadi udah jelasin ke gue juga, kok. Anggap aja hari ini gue jadi asisten Bang Arkaan sehari" Aksa mengakhiri kalimatnya dengan tawa singkat yang akhirnya sukses membuat Arkaan tersenyum.

Sejujurnya Arkaan tidak terbiasa dengan perlakuan istimewa dari sepupu-sepupunya, apalagi sejak kejadian saat ia perang dingin dengan Jendra. Meski pernah keras kepala, Arkaan akhirnya menyadari bahwa sebenarnya adik-adiknya yang lain menyayanginya, tidak terkecuali Aksa dan Abim, adik kandung Jendra.

"Sa..." Arkaan akhirnya bersuara setelah beberapa saat ia dan Aksa sama-sama terdiam. Aksa yang memang tidak bisa multitasking dan Arkaan yang kaku adalah kombinasi yang paling tidak menguntungkan saat mereka dibiarkan berdua saja. Terbukti, Aksa hanya fokus menyetir dan Arkaan sibuk dengan pikirannya sendiri. Sangat jauh berbeda jika Arkaan dengan Dirga, Abim atau Gala, adiknya. Mereka pasti mengoceh sepanjang perjalanan.

"Iya, Bang?" Aksa pun menjawab tapi dengan pandangan masih lurus ke depan. Aksa ini memang sangat hati-hati karena sebenarnya ia sedikit kikuk. Awalnya Arkaan menawarkan diri menyetir tapi Aksa bersikeras menolak karena ingin menunaikan amanah dari Dirga. Akhirnya Arkaan hanya bisa pasrah dan menuruti Aksa.

"Sejujurnya, gue tuh ga enak diperlakukan spesial begini" ujar Arkaan.

"Spesial gimana, Bang?"

"Ya kayak sekarang. Lo kan bisa aja nolak permintaan Dirga buat nganterin gue."

"Ya ampun Bang Arkaan, kirain apaan. Tadi gue yang menawarkan diri. Sebenarnya Dirga mau telpon Bang Arkaan tapi gue bilang biar gue aja yang nganterin Bang Arkaan ke rumah sakit. Lagian, Bang Arkaan juga baru sembuh. Masa iya dibiarin kemana-mana sendiri? Ntar ketemu paparazzi" jelas Aksa panjang lebar yang membuat Arkaan terkekeh.

"Ya kali paparazzi ngejar gue sampe ke rumah sakit, Sa."

"Ya, siapa tau aja Bang. Gue tuh kemarin kepikiran sama yang diomongin Bang Jendra soal kabar perjodohan keluarga ini sampe ke portal gosip segala. Ntar Bang Arkaan kena juga. Lebih aman kalo ada gue. Setidaknya mereka ga punya alasan buat ngejar Bang Arkaan."

"Sa, lo kayaknya lebih cocok jadi detektif daripada jadi dosen" ujar Arkaan sambil tertawa.

"Detektif itu impian gue yang kandas, Bang. Makanya gue banting setir jadi dosen" Aksa pun ikut tertawa setelahnya.

Tanpa sadar suasana menjadi cair dengan sendirinya berkat ucapan Aksa yang selalu sukses membuat Arkaan tertawa.

°°°

YouniverseWhere stories live. Discover now