Sharma Sakit Jiwa

Mulai dari awal
                                    

Ader melotot tak percaya, setelah itu menepuk jidatnya sendiri. Ia tidak tahu setan apa yang merasuki adiknya ini. Ader yakin, setelah ini kepala adiknya tidak akan ada lagi ditempatnya.

"Cukup!" tegas Kaisar.

Sharma langsung menghentikan gerakkannya. Kebetulan goyangannya berhenti di bawah. Ini posisi yang tidak enak dipandang ditambah lagi wajah Sharma yang berubah takut-takut. Ader melihat adiknya seperti anak kucing yang bertemu macan.

Dengan takut-takut Sharma berdiri dengan baik. Melihat kakaknya melotot, Sharma menunduk.

Gagal

Tiba-tiba Ader berdiri lalu bersujud untuk meminta pengampunan dari Kaisar. Ia bisa merasakan aura kelam dari Kaisar, tapi tidak dengan Sharma yang sama sekali tidak menyadarinya. Gadis itu masih berdiri seolah hanya takut dimarahi. Ia tidak tahu bahwa sebentar lagi kepalanya akan hilang.

"Mohon Kaisar memberikan pengampunan atas sikap lancang adik hamba. Sebenarnya beberapa hari yang lalu kepala adik hamba terhantuk batang pohon besar, mungkin karena itu dia jadi melupakan sopan-santun. Tolong Yang Mulia memberikan keringanan pada adik hamba."

Hai! Kenapa di sini kakak terlalu drama dalam meminta maaf?

Kaisar masih diam. Matanya beralih dari Ader menuju Sharma. Mata itu menatap tajam pada Sharma yang menunduk. Kalau bukan Sharma dan Ajoz yang dulu menyelamatkan Ibu Ratu, dan kalau bukan Ader yang merupakan mata-mata yang dipercaya oleh Kekaisaran, maka mereka berdua akan tinggal nama sebentar lagi.

"Bangunlah."

Ader mengangkat kepala untuk memastikan ekspresi Kaisar. Yang didapatinya adalah Kaisar yang telah berdiri.

"Kali ini saya ampuni karena Nona Sharma adalah calon Selir Ke-enam." Kemudian Kaisar berbalik dengan cepat hingga jubah warna hitam dan emas itu tersibak. "Beristirahatlah beberapa hari di sini sebelum acara pengangkatan dimulai." Kaisar berjalan meninggalkan ruang besar itu. Sharma hanya bisa menatap punggung Kaisar, dan Ader langsung bernafas lega.

Tung

"Aduh! Kakak sakit!" Sharma mengusap kepalanya yang baru saja mendapatkan pentungan dari sarung pedang kakaknya.

"Otakmu terbalik ya? Hampir saja kau kehilangan kepalamu. Mungkin hari ini kau masih bisa hidup, tapi tidak dengan lain kali." Kemudian Ader berjalan meninggalkan adiknya. Sungguh ia tidak mengerti dengan Sharma. Mungkin salahnya juga yang beberapa tahun ini tidak memantau pertumbuhan adiknya, dan tidak memberikan pendidikan tata krama di kerajaan. Tapi sepertinya Sharma memang pemberani. Bagaimana Sharma bisa berkelakuan seperti itu di depan Kaisar? Dirinya sudah hampir mati gemetaran, sedangkan adiknya hanya menunduk diam tanpa minta pengampunan.

* * * *

Di jendela yang besar, Sharma duduk sambil bertopang dagu. Kedua kakinya berada di luar jendela sambil diuncang-uncang. Manik mata hitamnya melihat ke arah bulan yang hampir bulat sempurna. Bosan? Tentu saja. Sudah dua jam ia menatap langit dan pohon-pohon, namun sama sekali tidak menemukan hal yang menarik. Seandainya sekarang ia masih di rumah pamannya di desa Teh, pasti sekarang ia sedang bercanda dengan pamannya itu.

Sejak selesai makan malam, kakaknya itu pergi entah ke mana. Jadilah dirinya sendiri di dalam kamar yang katanya adalah kamar sementara untuk dirinya. Bangunan yang ia tempati adalah bangunan khusus untuk tamu. Ada ruang makan, beberapa kamar, kolam ikan, dapur, dan ruangan-ruangan lainnya yang tidak Sharma ketahui apa fungsi ruangan itu.

"Huh, membosankan."

Sharma benci diam tanpa melakukan apapun. Namun ini adalah catatan dalam sejarah, ia duduk dua jam hanya untuk termenung.

"Lebih baik aku jalan-jalan. Sepertinya keliling istana tak akan membosankan."

Sharma meloncat ke bawah. Ia meringis karena menginjak beberapa baru runcing. Ia lupa mengenakan alas kaki. Lagi pula ia tidak suka dengan alas kaki bertumit tinggi yang diberikan pelayan istana. Sungguh tidak cocok dengan seleranya.

Sharma mulai jalan-jalan santai. Matanya bergulir ke sana kemari untuk mencari sesuatu yang menarik. Ia berjalan tak tentu arah, yang terpenting ia tidak bosan. Tak tahunya langkah kaki itu membawanya ke kandang kuda. Di sana ia melihat banyak sekali kuda gagah yang dijaga oleh beberapa penjaga.
Pasti itu milik penghuni istana.

Sharma melangkah mendekati salah satu penjaga kuda. "Selamat malam." Sharma menebar senyum manisnya.
Penjaga itu terkejut melihat ke hadiran Sharma. Melihat gadis yang belum pernah mereka lihat sebelumnya di istana, penjaga kuda itu langsung tahu bahwa inilah calon Selir ke-tiga yang sedang hangat dibicarakan. Penjaga itu langsung membungkuk memberikan hormat.

"Tidak usah terlalu berlebihan. Hmm boleh saya meminjam kudanya?"

Ya, Sharma ingin naik kuda. Semasa hidupnya ia belum pernah menunggang kuda. Ia sering melihat hewan gagah ini di bawa oleh kakaknya, akan tetapi ia tidak memiliki kesempatan untuk menaikinya. Kini ia ingin mencoba menunggangi kuda.

Penjaga itu menatap Sharma. "Memangnya Nona Sharma bisa menunggang kuda?"

Sharma tertawa kencang, tidak ada anggun-anggunnya sama sekali. "Paman, saya ini sudah mahir. Ayo berikan kudanya. Saya sangat bosan berdiam diri di kamar. Saya ingin menikmati angin malam sambil menunggang kuda. Boleh kan?"

Penjaga itu terlihat berpikir berulangkali. Namun Sharma terus memaksa hingga mau tidak mau ia memberikan satu kuda berwarna hitam. Ia memilih kuda hitam itu karena kuda itulah yang paling mudah dikendalikan. Dengan bantuan penjaga, Sharma berhasil naik ke atas punggung kuda.

Woaah, ini tinggi sekali.

Sharma tersenyum riang.

"Terima kasih, Paman."

Sharma tersenyum senang. Ia merasa dirinya sangat keren sekarang. Ia merasa sudah segagah kakaknya.  Saking senangnya, tak sengaja kakinya menendang bagian badan belakang. Tentu saja kuda itu mengira sang penunggang ingin berpacu dengan cepat.

"Aaaa!" Sharma terkejut. Badannya tersentak kebelakang karena kuda itu melaju tiba-tiba. Untung saja tangannya sudah menggenggam tali kendali kuda, jadi ia tidak terjungkal kebelakang. Namun keuntungan itu malah berbalik menjadi petaka. Karena tali itu tertarik ke belakang, kuda tiba-tiba mengerem dan menaikkan dua kaki bagian depannya ke atas.

Kaki Sharma lagi-lagi tak sengaja menendang kuda. Kembali kuda itu berlari cepat.

"Aaaakh! Tolong aku! Kakak, aku belum mau mati!"

Seluruh penjaga di kandang kuda menjadi panik. Mereka tidak tahu bagaimana caranya menghentikan kuda yang berlari tak tentu arah itu. Jika salah-salah, mereka yang akan kena tendangan kuda, parahnya lagi mereka akan terinjak. Akhirnya mereka hanya lari kesana-kemari berjaga jika Sharma jatuh.

"Huaa! Ampun kuda!"

"Tarik talinya Nona!" Teriak para penjaga.

"Tidak bisa!" Sharma malah memejamkan mata. Sungguh, ia betul-betul tidak bisa mengendalikan kuda.

Tak tak tak

Terdengar suara kaki kuda lain yang sedang berlari. Mereka menoleh ke kandang kuda.

Apakah akan ada pengeran tamvan yang menyelamatkan Sharma?

Kaisar & Sang AmoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang