[16] Kebutuhan Hati

Start from the beginning
                                    

"Kita ini sebenarnya apa si, Ar?" adalah kalimat utama yang di lisankan oleh Gladia. Seakan tak kuasa menapaki alas memori mengenai jatuh hati, yang dimana akan selalu Gladia yang jatuh dan ditarik pahitnya rasa tak terbalaskan.

Untuk sesaat, Arkan menjadikan helaan nafas panjang dan sisiran kasar pada rambutnya sebagai bentuk jengah akan kelakuan Gladia. Dimana ia yang tak suka dengan aksi Gladia yang menariknya secara mendadak di pertigaan koridor. Mencari tempat sepi untuk sekedar berdialog mengenai kebutuhan hati.

"Glad, kita udah bahas ini sebelumnya, gue sama lo itu cuma sebatas temen. Lo dan gue cuma akan ada kalo kita lagi butuh satu sama lain."

"Apa itu nggak terlalu egois, Ar?" tanya Gladia dengan suara yang sedikit bergetar.

"Egois buat siapa? Buat lo?"

"Buat kita semua! Gue, lo dan juga... dan juga Lava!" Gladia sengaja melirihkan suaranya di kalimat terakhir.

"Ya makanya lo jangan cerewet, kita sama-sama jaga perasaan Lava."

Sejurus kemudian, Gladia menatap Arkan dengan tatapan tidak percaya. Lalu, senyum miris pun Gladia layangkan di sana. "Terus gimana sama perasaan gue?"

"Glad, gue sama lo itu..."

"Gue suka sama lo, Ar! Terus nanti gimana perasaan gue?! Gimana? Lo bilang supaya gue diam untuk jaga perasaan Lava. Terus gimana sama perasaan gue? Gimana, Ar?" bersamaan dengan kalimat terakhir yang bergetar, tangis Gladia pun akhirnya pecah.

"Glad, please! Nggak usah berlebihan kayak gini!"

"Berlebihan lo bilang?!" Gladia menaikkan nada suaranya.

"Cowok plin-plan kayak gitu aja ditangisin," sebuah suara tiba-tiba saja menyapa indra pendengaran dari kedua anak manusia di sana. Dan benar saja, Shaga berdiri tak jauh dari mereka. Masih dengan tampilannya yang seperti biasa. Berseragam lengkap, rapi dan berkacamata. Sangat jauh dari kata berandal.

"Jauh-jauh deh lo dari modelan cowok yang kalo mau beli permen aja kudu cap-cip-cup dulu. Ya kan, Ar?" tanya Shaga yang dimana pertanyaannya itu menyulut emosi Arkan.

"Nggak usah ikut campur lo, cupu!"

"Cupu cupu gini punya prinsip. Ketimbang cakep tapi nggak ada prinsip, itu konsep hidupnya gimana? Insaf dah kalo kata gue, keburu cewek-cewek yang ngejar lo sadar," ucap Shaga santai.

Arkan dengan emosi yang kian memuncak pun mendekati Shaga. "Lo nggak ada urusan ya sama gue! Nggak usah banyak bacot. Banci banget, kalo berani sini lawan pake otot."

"Jadi bener nih semua kata-kata gue tadi sampe lo gemeteran gini? Banci itu yang takut sama fakta-fakta mengerikan tentang dirinya sendiri, sampe-sampe dia harus bersembunyi di balik kata otot supaya nggak keliatan lemah. Bener apa bener nih?" Shaga mengangkat sebelah alisnya.

Dengan begitu saja, Arkan mengangkat tangannya, berniat memukul Shaga. Namun bersamaan dengan teriakan Gladia, seorang guru pun ikut menghentikan aksi Arkan.

"Eh, eh ada apa ini? Ada apa?! Kalian mau ribut, iya?! Mau berkelahi di sekolah?!" ucap sang guru berkacamata bulat.

Arkan masih belum melepaskan tangan yang mencengkram kerah baju Shaga, begitupun sebelah tangannya yang masih terkepal di udara. Tatapannya masih sangat berapi-api di sana.

EPOCH [Selesai]✓Where stories live. Discover now