[14] Perihal Rasa

1K 190 15
                                    

JANGAN LUPA FOLLOW AKUN MEDIA SOSIAL HOTKOPILATTE :

INSTAGRAM : -aksaralatte
                        -nadpilatte

TIKTOK : hotkopilatte
TWITTER : hotkopilatte

HAPPY READING!

"Mungkin jika kau adalah pembaca yang senang berkelana, menjajah dan menafsirkan aksara pada buku. Percayalah, aku hanya buku usang yang sangat ingin menarik perhatianmu. Membiarkanmu jatuh pada frasa lalu menafsirkan aksara di setiap halamannya."

Membiarkanmu jatuh pada frasa lalu menafsirkan aksara di setiap halamannya. Itu mungkin akan sulit, membuat cinta itu jatuh pada hati yang tak diinginkan. Tapi kala waktu itu tiba, ada sebuah doa dimana cinta itu adalah bentuk utuh daripada keikhlasan. Sebab cinta bukan semata-mata tentang aku dan kamu yang terikat atas hubungan asmara. Tidak. Tapi tentang keikhlasan bagaimana kita akan berjalan beriringan dan mampu memahami satu sama lainnya. Baik dan buruknya kita akan saling menemuinya di perjalanan nanti. Maka, genggamlah tangan seerat mungkin agar mampu saling menguatkan di setiap perbedaan.

"Dan jika engkau adalah pelukis yang gemar mengadu warna pada kanvasnya. Maka aku hanyalah selembar kanvas kosong yang mendamba warna dari sentuhan kuasmu. Tak perlu pelangi, cukup satu warna untuk kau sebut seni."

Tak perlu pelangi, cukup satu warna untuk kau sebut seni. Bahkan, bila kanvas kosong milik Shaga hanya diberi setitik warna hitam, Shaga tetap menyukainya asalkan itu berasal dari sentuhan kuas milik Lava. Bahkan tak apa jika kau hanya memberi titik pada kanvas kosong milik saya. Asalkan satu titik itu adalah cinta yang tulus dan ikhlas. Sebab bukan sebuah masalah jika cinta milikmu tak sebesar dari cinta yang saya beri. Karena titik itu saja sudah lebih dari cukup untuk saya merasa di cintai.

Merasa di cintai.

Dan,

"Untuk hari ini saja, saya ingin mencuri bongkahan senja yang menyala di ufuk barat. Sekedar mengambil sedikit waktu Si Tuan Jingga untuk menanyakan, apakah ada cara pamit yang lebih manis dari senja?"

"Sebab yang saya tau, mau semanis apapun cara untuk mengantarkan sebuah kalimat pamit. Perpisahan tetaplah terasa pahit dan akan selalu melukai Sang Tuan-nya."

Sebab untuk persimpangan jalan yang kemarin Shaga bicarakan. Sekiranya seperti dua bait kalimat di atas. Mau bagaimana pun nanti kala takdir memisahkan mereka, Shaga tetap akan merasakan sebuah kepahitan atas nama pamit. Sekalipun perpisahan itu diakhiri dengan pelukan atau bahkan kecupan hangat, akan tidak ada bedanya. Sakit tetap mengambil alih sebuah perpisahan.

"Mungkin ombak dan pasirnya adalah kita. Kita ada. Berdekatan. Tapi cinta itu hanya ada pada pasirnya. Membiarkan dirinya terkikis perlahan oleh tiap detik gulungan ombak yang datang. Membiarkan dirinya lenyap tatkala sang ombak membawanya pergi ke penghujung Samudera-nya. Tapi bukankah hamparan pasir pada tepian Samudera tak pernah habis dimakan oleh Sang Ombak? Maka seperti itulah aku dan kamu. Si Pasir yang akan jatuh berkali-kali pada pelukan Sang Ombak."

Lagi-lagi, seutas bait itu ada untuk Shaga dan Lava. Dimana skenario cinta itu masih berada di satu pihak. Shaga.

Berbicara tentang ombak. Disinilah Shaga sekarang. Duduk di ujung pemecah ombak. Menikmati deburan ombak di pagi hari buta. Sesekali matanya terpejam kala suara dari samudera itu menenangkan dirinya. Katakanlah Shaga tengah menyatu dengan semesta. Membiarkan semesta takut akan resah dan gelisahnya. Menjatuhkan diri pada semesta untuk mengobati sesuatu yang perih di dalam rongga dadanya.

Seperti yang Shaga ucapkan kemarin. Shaga merasa bahwa ia memang mengenal Lava. Atau bahkan ia sudah seharusnya mengenal Lava di dunia ini. Dia tidak merasakan ada sekat yang bernama asing. Tidak. Tapi sekat itu baru ada kala Lava selalu mempertanyakan perihal eksistensinya. Shaga ikut terombang ambing di dunia yang sekarang. Dia jadi ikut mempertanyakan perihal eksistensinya di dunia ini.

Tapi rasa-rasanya ada ikatan yang begitu erat di dalam hati Shaga. Dia merasakan cinta itu utuh untuk Lava. Entah bagaimana, Shaga pun tidak mengerti kenapa ia bisa sangat mencintai gadis itu. Karena lagi-lagi perlu Shaga tegaskan, dia merasakan ikatan itu teramat kental dan tidak ada sekat asing untuk Lava.

Tapi persis seperti kalimat yang Shaga berikan pada Lava kemarin. Rasa-rasanya ia tidak perlu memikirkan kemungkinan-kemungkinan untuk hari esok. Selagi masih ada kesempatan untuk mendampingi dan mengisi hari-hari Lava, Shaga akan menikmatinya sampai batas waktu yang Shaga sendiri pun tidak tau persisnya. Tapi, Shaga harus hidup untuk hari ini. Hidup untuk hari dimana ia diberi kesempatan.

Kala angin berembus lebih kencang dari sebelumnya, Shaga pun mengeratkan pelukan tangannya sendiri pada tubuh bagian atasnya. Agak gila memang. Pagi-pagi buta begini ia menuju ke laut dan membolos sekolah. Ya, kemarin akhirnya mereka berdua memutuskan pulang dengan memanjat tembok taman sekolah. Syukurlah aksi keduanya lancar dan selamat sampai tujuan.

Dan mengenai Shaga yang pingsan. Shaga sendiri pun masih tidak mengerti penyebab sebenarnya. Karena bagaimana pun kemarin itu terasa aneh. Shaga ingat betul bagaimana keadaan sekolah yang mendadak sepi dan atmosfer disekitarnya pun berubah. Bahkan Shaga baru ingat, ia sempat melirik ke kantin sebelum dia tak sadarkan diri, dan yang Shaga temui adalah orang-orang di kantin yang mematung. Mereka tak bergerak sama sekali.

Ini aneh dan agak... menyeramkan.

Lalu, semua kembali normal kala ia melihat Lava. Dunia kembali berjalan kala Lava mendekatinya.

Dengan mengingat itu saja sudah membuat Shaga pening. Maka tarikan nafas ia ambil lebih panjang untuk mengisi rongga dadanya. Shaga ingin tenang sebentar. Lalu, Shaga merogoh saku celana bahannya. Ia mengambil jepit rambut merah milik Lava. Jepit rambut yang tak sengaja jatuh di pemecah ombak pada hari dimana gadis itu mengancam akan mengakhiri hidupnya.

Dilihatnya jepit rambut merah itu. Jika perhatikan lebih seksama, jepit rambut ini sedikit unik. Warnanya merah menyala dengan hiasan seperti batu permata yang ukurannya sangat pas di ujungnya. Batu permata berwarna biru muda. Dimana Shaga sering menemui batu itu mengkilap di beberapa waktu.

"Hmm, cantik." Shaga bergumam pelan.

Bersamaan dengan ia yang memasukan kembali jepit rambut itu ke dalam saku, tiba-tiba saja ponsel Shaga bergetar. Menandakan ada panggilan masuk. Jujur Shaga agak sedikit terkejut kala nama yang terpampang di layar ponselnya adalah nama Lava. Sebab, agak sedikit mustahil saja jika gadis itu menghubungi Shaga terlebih dahulu. Ya, mereka memang sudah bertukar nomer ponsel.

Enggan berlama-lama, Shaga pun mengangkat panggilan dari Lava.

"Halo..."

"Shagaa tolongin gue!"

Sial! Apalagi ini?!

***
To be continue

Sengaja aku gantung biar asiquee wkwk. Btw tema yang cocok buat bab ini kayaknya "Shaga Si Anak Senja." Melow bet dia wkwk...

Kalo kalian suka bab ini jangan lupa vote dan komen yaa🤍

Senin, 06 Juni 2022

See you🤍

EPOCH [Selesai]✓On viuen les histories. Descobreix ara