|| Dua Puluh Enam []

14 5 8
                                    

Ah.

Segenap kenangan itu kembali. Segenap kenangan itu dikembalikan paksa di depan mata Rheas.

Senyata dirinya baru saja mengalaminya kemarin, dengan seutuh-utuhnya tubuh dan indra. Kepala dan rongga dada Rheas saat ini dijajah emosi dan rembesan hati yang bukan miliknya. Segala kecamuk bergelombang ini milik dirinya yang dulu di masa lalu, di masa tiga-empat tahun lampau.

Ini bukan miliknya.

Namun, Rheas tidak bisa meneriakkannya. Mulutnya terbuka hanya untuk termegap tanpa makna. Segenap memori yang bisa-bisanya terbuka kembali itu meracuninya.

Rheas kembali merasakan benci, padahal dirinya seharusnya tidak lagi peduli.

Bahkan meski mereka semua yang dipercayai dari hatinya berakhir mengkhianati.

Entah itu Huiricius yang tak pernah sama lagi, semenjak berdiri menuruti Raja seperti boneka tali agar menggunakan artefak sihirnya untuk menggali kebenaran rahasia dari sang Ibunda. Mata itu mencampakkannya. Binarnya menghilang digantikan bayangan yang sama seperti semua orang.

Entah itu Mainerva yang tak ditemukannya lagi, semenjak membela diri bahwa dirinya tak punya pilihan selain membeberkan identitas asli Rheas dan ibundanya kepada Huiricius. Taring itu mengusirnya. Tawanya hilang digantikan murka seakan-akan bukan dia yang mengakhiri persahabatan dengan kejam.

Bahkan, artefak sihirnya. Sebatang pena bulu yang kemampuan sihirnya sederhana saja—itu bisa menstabilkan kendali energi sihir pemegangnya. Sederhana, kecuali fakta rahasia bahwa itu bisa menstabilkan sihir hingga tingkat hampir sempurna. Bagi Rheas, itu tetap sederhana. Pena itu mewujudkan apa saja selama sihir ada, dan sihir memang senantiasa ada di mana-mana. Gurat tulisan melayang bisa diukirnya di udara, lenyap dibaca angin yang tertawa. Satu-satunya yang menemani dengan setia, yang tidak mengkhianatinya.

Namun, itu tetap lenyap.

Ah. Rheas juga kembali lenyap.

Semua itu ... masih belum cukup?




***




Jemari Rheas ditawarkan jari-jemari berselaput bayangan yang terulur padanya.

"Mari, Nona Rheas. Ini waktunya pergi."

Lagi-lagi. Sosok pria bayangan itu kembali menyebutnya dengan panggilan yang menggelitik telinga. Rheas sekadar mendongakkan kepala, tanpa bisa menemukan di mana dua pasang mata pria bayangan itu sebenarnya berada. Meski, dirinya tidak peduli.

Karena Rheas hanya bisa bertahan hidup dengan berhenti peduli sejak hari itu.

"Nona Rheas."

Rheas menghela napas tipis. Sepertinya pria itu siap memanggilnya seratus kali lagi seperti itu demi membuatnya bereaksi, meski itu adalah kejengkelan setengah mati. "Hm." Dirinya bergumam, memutus kontak mata sepihaknya dan kembali memainkan kerlip samar sihir di antara jemari dan rerumputan berwarna seputih salju.

"Apakah kau tidak ingin pergi?" tanya sang pria bayangan, jelas sekali ingin mendapatkan atensi, entah seberapa tak terbaca nada suaranya yang berkesan gema samar. "Maaf, tetapi surat titah dari kerajaan sudah disampaikan kemarin, bukan? Nona Rheas diperintah tidak usah membawa barang apa-apa, jadi seharusnya kau tidak sibuk masih mengepak barang sebab suratnya mendadak. Untuk perpisahan, saya rasa waktu satu hari penuh tidak terlalu mendadak."

QuietUsUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum