|| Tujuh Belas []

16 4 20
                                    


"Diam."

Rheas menyentuhkan kesepuluh ujung jemarinya satu sama lain, tanpa ikut mengatupkan telapak. Dirinya memejamkan mata, sejenak saja, untuk kembali membuka bersamaan dengan munculnya pendar samar seiring senandung tanpa kata digumamkannya. Gulungan perban dibongkarnya, serta mulai dililitkannya dimulai dari lengan kiri seseorang yang dijalari retak seakan-akan kulitnya itu adalah tanah kemarau.

"Tidak apa kalau kau mau menyenandungkannya keras-keras, kok, Rheas."

"Diam," potong Rheas sembari menyimpul perban pertama kuat-kuat, membuat Riori mengatupkan mulut rapat-rapat dan meredam teriakan protes sakitnya di sana. "Hm."

Riori membuka mulutnya kembali dengan ekspreksi seakan dia baru menahan napas dalam air. Tatapan pemuda bermata merah itu menuduh sengit. "Kau sengaja, ya?"

"Mana mungkin tidak." Rheas menjawab datar nan ringan selagi mengurai lembar perban lebih banyak dari gulungannya. Teliti, sedikit demi sedikit, jemarinya mengurai sembari menanamkan pendar sihirnya dalam setiap titik kain perban yang disentuhnya. Dirinya melakukan itu dengan hati-hati sekaligus sigap. Semoga saja belum terlambat menangani luka berjejak retak Riori dengan ini. Akan merepotkan jika Rheas harus melakukan operasi sihir manual di tempat yang lebih dari sekadar tidak memadai ini.

"Bagaimana dengan Arthkrai?"

Rheas ikut mengerling singkat pada arah tatapan Riori yang hanya bisa melirik ke seberang api unggun, sebab dirinya melarang pemuda bermata merah itu untuk bergerak selain bernapas, berkedip, dan sedikit berbicara. Di sana, di balik kobar api unggun yang berseberangan Rheas dan Riori, tampak Arthkrai yang bersandar dengan mata terpejam bersama Arkiv di dekapannya.

"Luka ringan, dan terutama kelelahan—karena ini pertama kalinya dia merasakan rasanya merasuki sihir terlalu lama dan dalam." jawab Rheas. Sebelum Riori bertanya lebih lanjut tentang itu yang penjelasannya merepotkan, dirinya balik menanyakan, "Jadi, bagaimana soal Monster Kematian?"

Riori jatuh merenung sekejap, lalu menjawab, "Kurasa, kau benar, sihirnya berbeda dengan sihir biasa warisan garis keturunan bangsawan dan juga berbeda dengan sihir hitam. Secara kasat mata terlihat sama, tetapi konsep dasarnya jauh berbeda. Seperti, kau tahu sihir hitam digunakan atas nama rahasia terlarang, tetapi sihir dari para Monster Kegelapan itu lebih seperti didasarkan pada kejanggalan terkutuk."

Itu dia, kutukan. Tebakan Rheas tepat.

"Ada lagi?" tanya Rheas, memotong perban dengan pisau kecil, untuk beralih menggunakan perban itu ke sebelah lengan Riori yang lain.

"Sayangnya tidak. Aku sedang dalam situasi hidup-mati saat itu, tahu, Rheas."

Situasi hidup-mati.

Ah. Rheas baru memikirkannya

Bisa saja tadi mereka semua benar-benar mati, ya.

"Riori. Lain kali, kalau mau mengorbankan diri, kau harus melakukannya tanpa banyak basa-basi."

Riori mengerjap begitu Rheas selesai berucap. Kemudian, pemuda bermata merah itu tertawa—hanya sejenak, karena dia langsung mengaduh terlupa akan nyeri di sekujur tubuh ditambah satu ikatan perban kencang dari kejengkelan Rheas akan pasien bebalnya.

"Baiklah. Tenang saja, tetapi, memangnya kenapa?"

"Itu hanya akan merepotkan kalau Arthkrai lama-lama membencimu atau aku," sambar Rheas datar. "Aku terus-menerus menyeretnya meninggalkanmu di belakang, dan kau terus-menerus memilih tinggal di belakang dan kembali menyusul hanya untuk mengulanginya lagi."

Bertepatan dengan selesai membalut satu lagi lengan Riori ini, Rheas diam-diam memerhatikan bagaimana pemuda bermata merah itu bereaksi.

Ekspresi yang terpatri di wajah Riori tak jauh berubah, tetapi netra bara apinya tampak menerawang. Rheas sedikit tak menyangka karena tidak segera mendapati rasa bersalah menyapu wajah pemuda itu. Tanpa menghentikan kedua tangannya untuk terus membalut bagian lain badan Riori yang berjejak bak retak, dirinya bertanya tanpa nada, "Riori. Apa kau tidak merasa bersalah?"

QuietUsWhere stories live. Discover now