|| Delapan Belas []

14 5 13
                                    

Rheas merasa napasnya habis. Kesadarannya pun menipis. Beku berembus ke dalam tubuhnya, membuat rasa perih tertawa di setiap usahanya bergerak, bahkan gerakan seremeh terus mengais napas dan mengerjapkan kelopak mata yang teramat berat dan rasa-rasanya akan mengatup rapat jika sedetik saja dirinya lebih lama membuka mata.

Pengelihatannya buram. Keseimbangannya goyah karena entah di mana atas dan bawah ketika segalnya dilapisi salju nan putih. Mengerikan, ketika Rheas memikirkan bahwa iklim belantara ini dapat dikuasai semau Monster Kematian yang sedang mengamuk. Padahal, baru kemarin panas terik menyelip dari celah-celah dedaunan sehingga hawa lembap yang terperangkap pun menjadi-jadi.

Ah. Ada yang lebih mengerikan daripada itu.

Bahwa Rheas hampir terbiasa dengan semua derita yang dirasakannya ini.

Napasnya sudah habis berkali-kali, pernah sampai tuntas tak bisa bernapas sama sekali. Jadi, meski beku sekeji ini baru yang pertama kali, baginya masih tidak apa-apa.

Kesadarannya sudah menipis berkali-kali, sampai terpecah-pecah pun sudah. Jadi, meski putih salju sepenuh ini baru pertama kali mengurungnya, baginya masih tidak apa-apa.

Sisanya sama saja. Perih, buram, nyeri, kaku, gemetar, dan segala derita yang kini menyiksa Rheas sudah bukan lagi masalah besar. Mengerikannya lagi, itu juga berlaku sama pada Arthkrai dan Riori. Mereka bertiga sudah beradaptasi dengan situasi hidup-mati. Karena kondisi macam ini sudah pernah berkali-kali, lagi dan lagi, mereka hadapi. Sekalipun beberapanya diselesaikan dengan Riori yang harus mengorbankan diri sementara dirinya lari lebih dulu bersama Arthkrai, rasa sekarat seakan sudah bersahabat dengan mereka bertiga.

Mengerikannya lagi, dengan lengah, Rheas sampai terlupa apa makna dari frasa situasi hidup-mati.

Kedua kaki Rheas bergantian terbenam menginjak pijakan yang berlapis salju tebal. Selangkah demi selangkah. Tak menyerah. Sihir dirasukinya memakai tangan kiri yang direntangkan, penuh gemetar karena dingin dan entah apa yang lainnya, terus menggerapai dengan pendarnya yang disamarkan terpaan angin badai salju. Berusaha meraih hanya satu-satunya di sana, di depannya.

Sosok itu menoleh, menyadari langkah Rheas, mendadak ikut merentangkan sebelah tangan di antara jarak yang tersisa.

Arthkrai tampaknya ... berteriak?

Situasi hidup-mati itu, berarti hanya ada dua opsi yang tersedia.

"RHEAS!"

Antara hidup.

Atau mati.

Ketika teriakan Arthkrai sampai di telinganya, Rheas menyadari dengan terlambat.

Bahwa sepotong tangan raksasa berwarna legam dengan mulut yang ternganga tepat di tengah telapaknya tengah terayun kepada dirinya.

Pijakan Rheas lenyap. Bukan, bukan karena tangan bermulut Monster Kematian sekejap lalu berhasil melahapnya. Sensasi hangat yang menari-nari di bawah ujung jemari tangannya ini adalah sihir. Familier, berasal dari sebuah tangan berukuran biasa yang akhirnya menangkap dirinya. Arthkrai.

"Rheas—"

Seketika, Rheas mencengkeram lengan Arthkrai. Dialah tujuannya sedari tadi yang terus menjauh merenggangkan jarak sendiri, dan sekarang, dirinya tak akan membiarkan itu lagi. Suara dari tenggorokannya tertekan rendah karena dingin, tetapi Rheas mendesiskannya jelas.

"Arthkrai. Sekarang, ayo pergi."

Rheas melihat jelas bagaimana netra biru si pangeran yang berkaca-kaca karena cemas seketika berganti bias geram.

Ya. Sebenarnya, bahkan Arthkrai bisa berekspresi seperti itu.

"Jangan bercanda, Rheas!" seru Arthkrai memuntahkan parau. "Bukankah tadi aku baru saja menyelamatkanmu? Kalau aku tidak ada, sesaat tadi kau sudah mati! Kau buktinya, Rheas! Aku sudah cukup kuat untuk bisa berguna di pertarungan!"

QuietUsWhere stories live. Discover now