|| Dua []

37 11 4
                                    

Pemuda itu memang bernapas dengan tenang. Lambat, berirama tanpa tersendat. Pun, netranya terkatup, berbingkai barisan bulu mata panjangnya bagai tirai pelapis kegelapan yang menutup. Sebelah lengannya menjadi bantal bagi kepalanya yang terbaring miring ke kanan, sementara sebelah lengannya lagi terkulai saja di atas dada. Dia tidak mengenakan selimut—tidak pernah, karena malam sedingin apa pun tetaplah gerah untuknya.  Hanya ada kelambu tebal berlapis minyak aroma bunga yang mengurung ranjangnya. Sekilas, dirinya tampak tidur dengan lelap, barangkali menjadi yang paling menikmati sebuah mimpi indah—

Satu tarikan napas, dan dia membelalak.

Lalu, sepasang netranya yang sewarna bongkah lazuardi pun mengurai air mata.

“Mimpi ... indah?” gumamnya gamang. Seolah mencoba mengeja tiap tetes air mata yang diraba jari-jemarinya. Tatapannya kosong kepada kegelapan. Bukan, dirinya tidak ketakutan. Tidak gara-gara kegelapan. Ah, iya, kegelapan ini mungkin saja kesepian dan telah menyimpan berbagai rupa sendirian dari para penghuninya yang terdahulu ... tetapi dirinya sedang tidak bisa menanggapi itu.

“Maaf, maaf—“

Ah, permintaan maaf itu membeludak tercampur ke dalam air matanya. Seharusnya jangan. Jangan. Siapa pun enggan kalau perasaannya diadukkan bersama perasaan orang lain kala dia hanya ingin didengarkan.

Pemuda itu berusaha membungkam desak sesak di dadanya dengan mengatupkan rahang. Gemeretak sakit beradu di pojok-pojok gerahamnya yang bersikeras pantang meloloskan sedikit pun geram pun sengguk. Semua giginya bergemeletuk rapat, menyembunyikan cecap dari jejak air matanya yang masih saja bisa menyusupkan asinnya. Tidak apa meski air matanya masih tak mau berhenti. Tidak apa. Asalkan dirinya tidak bersuara, tidak menyuarakannya. Ini syarat, jangan sampai berani-berani diingkari—

Tunggu dulu. Diingkari ... mengingkari?

Tiba-tiba saja, rasa air mata yang dicecapnya menjadi pahit yang tak hanya sekelumit.

Tanpa lagi gamang seperti sebelumnya, pemuda itu mengakuinya. Bahwa pahit yang melumat dirinya teramat sakit ini adalah gara-gara mimpi yang baru saja dia ingat, yang beberapa saat tadi membangunkannya segera bersama air mata.

“Arthkrai, kau mengingkari dirimu sendiri.”

Tidak ... tidak berhenti, tidak bisa, sama sekali ... air matanya—

“Mengingkari janjimu, gelarmu, kewajibanmu, tanggung jawabmu, leluhurmu. Arthkrai, kau mengingkari kami. Ah, berapa banyak nyawa yang akan mati gara-gara kau mengingkari semuanya?”

Arthkrai tak kuasa menghentikan air matanya. Ya. Betapa seperti biasanya.

Namun, sudah cukup dengan dirinya yang diam saja.

Beberapa saat kemudian, Arthkrai mendapati dirinya sudah berada di luar wastu. Sudah selesai dengan mengendap-endap di antara kegelapan berpendar remang, pun menyelinap di antara sunyi sembari berusaha menjaganya—dia tak ingin membangunkan Rheas yang sepanjang hari tak henti-hentinya sibuk. Porsi rehat gadis itu hanya sempat di waktu tidur, mana mungkin Arthkrai mau membangunkannya di hari yang masih sedini ini?

Oh, jangan lupakan Riori. Meski Arthkrai berusaha mengerti, dirinya masih belum juga memahami bagaimana konsep waktu bagi temannya itu bekerja. Meski Arthkrai pernah mencoba mengamati demi mengikuti jalannya hari-hari Riori, jadwal keseharian temannya itu sangat—atau mungkin terlalu—fleksibel. Seperti ular karet yang meliuk-liuk dan selalu lolos dari tangkapan Arthkrai.

Namun, setidaknya, Arthkrai mengira kalau di waktu dini hari seperti ini, jadwal Riori adalah di antara sama-sama rehat seperti Rheas usai menyelesaikan patroli atau justru baru akan memulainya. Nah, kalau yang pertama, Arthkrai hanya bisa mengharapkannya seperti Rheas agar tak akan terganggu.

QuietUsNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ