|| Sembilan Belas []

15 4 12
                                    

Tidak ada sedikit pun gemetar yang menjalar di jemari Rheas. Wajah carut-marut itu tiada berguna menakuti ataupun mengintimidasinya. Apalagi, senyum halus bagai helai sutra yang tersulam di sana. Mungkin Rheas masih tak bisa membaca apa yang sebenarnya ada di balik senyum yang baginya mustahil sekadar guratan manis kesantunan, tetapi itu bukan masalah.

Karena Rheas tak peduli.

"Kami tidak akan menyerahkan Arkiv. Lagi pula, mengapa kau menginginkannya?"

Pria itu adalah seorang prajurit bayangan seperti Riori. Selalu memastikan nama aslinya tersembunyi, menggantinya dengan membiarkan para prajurit bayangan lain sekadar memanggilnya Kapten.

Ya. Karena dia adalah kapten pasukan prajurit bayangan Kerajaan Furedeszil.

Hah. Lantas mengapa? Rheas sudah mengaku dengan terima kasih yang lengkap, bahwa pria itu dan empat orang bawahannya datang di waktu yang teramat tepat sehingga menjadi penyelamat baginya dan kedua temannya. Sungguh berkebalikan dengan kemunculan mereka yang rasa-rasanya terhitung terlambat karena baru muncul sekarang—peran prajurit bayangan seharusnya menjadi yang diandalkan secara diam-diam ketika pasukan kerajaan diandalkan terang-terangan.

"Karena Arkiv sesungguhnya adalah membawa kutukan, Nona Rheas. Arkiv akan membawakan kematian dalam diam," jawab sang Kapten. "dan tidak, kau akan menyerahkannya. Karena kalau kau tidak akan menyerahkannya, aku akan membunuh temanmu yang gila itu."

Sang Kapten tidak menuding—dia tidak perlu menuding untuk menunjuk siapa yang dia rujuk. Tatap dari mata yang satu-satunya tampak ketika sepenuh wajahnya terlapisi bayangan kelam itu pun sekadar menegaskan. Rheas tahu. Karenanya, Rheas seketika menolehkan kepala ke belakang, kali ini hampir terang-terangan merentangkan sebelah lengan untuk menahan.

Namun, Riori yang diwaspadainya bisa jadi merepotkan di waktu paling tidak tepat ini hanya bergeming. Pemuda bermata merah itu membalas dengan senyum penuh mengembang di wajah, "Kau pikir kau bisa membunuhku semudah itu, Kapten?"

Rheas merasa sedikit lega. Dirinya mengabaikan Arthkrai yang menuntut sederet tanya lewat pantulan matanya—biar saja, si pangeran hanya butuh waktu untuk memahami apa yang mereka bicarakan.

Meski, tampaknya itu berkebalikan dengan keempat prajurit bayangan lain yang masih membisu dan kini berdiri rapi menyejajari kapten mereka, berposisi seakan mengancam jika ada yang berani-berani mencoba lari.

Tunggu. Firasat Rheas memburuk seketika.

Namun, itu tidak mengubah apa-apa.

"Ya, ya, tentu saja aku bisa. Aku hanya perlu memotong tali sihir hitam milikmu, Riori, di sini dan saat ini." Seakan merobek selapis beludru legam, bibir pucat sang Kapten mengguratkan seringai tipis nan lebar. "Kau tahu, aku sudah menguncinya."

Hening berdenging nyaring memenuhi telinga Rheas.

"Kalau begitu," katanya. "beri kami waktu untuk membersihkan residu sihir di antara Arthkrai dan Arkiv."

Sang Kapten menyipitkan matanya yang hanya tampak serupa sepasang lengkungan sabit putih. "Wah, ada hal seperti itu juga, ya?"

"Kau tidak tahu berapa banyak Monster Kematian yang kami hadapi, Kapten."

"Ah, ya. Boleh saja, tetapi nanti si pangeran akan tetap ikut denganku. Bisa dimengerti?"

"...Ya."




***


QuietUsWhere stories live. Discover now