IM:51 - Special Days

Mulai dari awal
                                    

Dan masih banyak dalil yang lain.

"Mbak, maaf ya," ucap Ninda lagi.

"Iya gapapa, Mbak. Saya memakluminya kok, saya semakin kagum sama Mbak. Pemahaman agamanya cukup baik," puji Avalia.

"Makasih ya, Mbak. Ilmu saya masih sedikit, Mbak. Hehe." Ninda merendah, sebab memang benar ilmunya belum seberapa, tapi setidaknya ia paham sedikit dan bisa mengamalkannya di kehidupan sehari-hari.

Avalia menganggukan kepala. "Sama-sama, Mbak. Mbak Ninda jangan terlalu gugup, badannya lho sampai gemetar,"

"Wajar kalau gugup, Mbak. Namanya saja calon pengantin, Mbak." kekeh seseorang dari belakang.

Ninda bisa melihat dari pantulan cermin di depannya bahwa yang datang adalah Bian yang gagah dalam balutan jas hitam.

"Mas ini calon suaminya mbak Ninda?" tanya Avalia penasaran.

Bian dan Ninda langsung bertatapan lewat cermin sembari mengulum senyum.

"Itu Abang saya, Mbak." Ninda terkekeh geli.

Avalia menggaruk pelipisnya yang tak gatal gegas ia mengatupkan kedua tangannya. "Maafkan saya ya, Mas. Maklum saya ndak tahu,"

"Iya nggak masalah, Mbak." Bian mendudukan diri di ranjang. "Tolong di rias yang senatural mungkin ya, Mbak Ava. Adik saya nggak suka kalau terlalu menor."

"Baik, Mas. Aslinya Mbak Ninda sudah cantik poll, tanpa make up pun terasa seperti make up." sahut Avalia.

"Abang, acaranya dimulai jam berapa?" tanya Ninda.

"Setengah delapan, Dek."

Ninda mengangguk paham. "Oalah, terus Bunda, Uti, Bridesmaid pada kemana?"

Bian menghela napasnya kasar. "Mereka semua sama kaya kamu, lagi dirias di kamar sebelah. Ingat pesan Abangmu, Dek! Sudah resmi istri orang, kamu harus bersikap dewasa, kamu kan juga masih kuliah. Jadi pintar-pintarlah dirimu membagi waktumu antara istri dan mahasiswi, kurangi nongki yang sekiranya tak ada faedahnya, mungkin sesekali boleh nongki tapi harus ingat waktu juga. Bila Alif ada salah kata maka kamu harus menegurnya dengan cara baik di selesaikan juga dengan cara baik pula, tak perlu pakai emosi begitupun sebaiknya, tugas Abang kini sudah selesai menggantikan Ayah sebagai walimu. Namun, Abang tetap menjadi abangmu yang akan selalu mencintaimu setiap waktu."

Netra Ninda berkaca-kaca seperkiandetik air mata mulai meluruh, gegas ia berlari menubruk badan kekar sang hero yang menjadi tumpuannya selama ini. "Abang," ucapnya parau.

Bian menyeka sudut matanya yang basah, ia merengkuh Ninda erat sesekali ia mengecup puncuk kepala sang adik. "Abang sayang sama kamu, sayang banget. Saat tahu Bunda hamil kamu Abang girang banget layaknya seorang kakak yang bermimpi menjadi pelindung bagi princess kecilnya, kamu lahir kita bermain bersama, tumbuh bersama dan kamu tetap selamanya adik kecil di mata Abang, Nin."

Avalia yang menyaksikan pemandangan di depannya pun turut menitikkan air mata. Dirinya terharu akan ketulusan cinta dari dua bersaudara itu.

Bian melepaskan pelukannya lalu mengusap sisa air mata Ninda. "Udah, ah, princess gaboleh nangis di hari bahagianya. Sekarang rias lagi, gih! Abang keluar dulu ya,"

"Iya,"

***
Satu jam Avalia mengulangi riasan Ninda, kini Ninda sudah cantik dalam balutan gaun pernikahan dengan sanggul yang terbalut dalam untaian kerudung dipadu dengan mahkota dan bunga hiasan.

Aminah, Nina, Laila serta para bridesmaid berdecak kagum melihat pesona Ninda yang sungguh cantik.

"MasyaAllah, Nduk. Kamu kok cantik sekali ya Allah mirip widodari, Nin." ucap Aminah berlinang air mata.

Imamku Musuhku [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang