[13] Tentang Satu Hari

Magsimula sa umpisa
                                    

Shaga terdiam.

"Kenapa diem? Bener ucapan gue? Iya?!" tantang Lava.

Sejurus setelahnya, Lava menemukan tatapan Shaga tenang namun menusuk. "Dari sekian banyak orang di dunia yang kamu bilang aneh ini, cuma kamu yang sadar kalo semesta ini berubah. Itu artinya orang lain nggak ngerasain perubahan kehidupan kayak yang kamu alamin!" ucap Shaga.

"Terus gimana sama lo sendiri? Hah? Apa bedanya sama lo?!"

Shaga menelan salivanya. Entah bagaimana ia harus menjawab ucapan Lava. Tapi, tapi sebelumnya kehidupannya terasa baik-baik saja. Shaga merasa bahwa ia memang mengenal Lava, atau mungkin memang sudah seharusnya ia mengenal Lava. Tapi Lava justru selalu menanyakan hal yang tidak masuk akal.

Lava tersenyum smirk. "Nggak bisa jawab kan?" setelah mengucapkan itu, Lava benar-benar berjalan menjauhi Shaga. Walau pada akhirnya, ada ucapan Shaga sempat terdengar dengar jelas di telinganya. Lava tetap berjalan, tapi kalo boleh jujur, ucapan Shaga kali ini tak bisa Lava abaikan.

"Gimana kalo kita adalah dua jiwa yang sama-sama tersesat?"

***

Terkadang, Lava ingin menguasai alam semesta. Menjadikannya malam yang berdurasi lebih lama. Menenggelamkan senja agar tak susah payah merelakan eksistensinya di alam raya. Atau mungkin membiarkan bumi menangis sepanjang hari. Sebab Lava suka ketika hujan turun.

Atau bahkan, yang paling sederhana, ia ingin mengendalikan bising di kepalanya. Menghancurkannya walau sehari saja. Tak masalah bila bising itu hadir lagi, tapi yang jelas ia mau satu hari bebas dari riuhnya sekotak beban di pikirannya.

Di rooftop sekolah, Lava berdiri sekarang. Menatap senja yang menyala merah, seakan-akan tengah marah dan akan membakar bumi detik ini juga. Dan kalian tau, ada yang lebih menyebalkan sekarang. Pemandangan di bawah sana, dua insan yang nampaknya tengah dimabuk asmara. Merayakan romansa merah hati yang menyala-nyala. Bercumbu berkali-kali, mengadu kelihaian aib dari bibir mereka. Lava menyaksikan itu sedari tadi. Arkan dan Gladia.

Ck ck ck, miris sekali dirinya.

Tidak. Lava tidak marah dengan kelakuan keduanya. Bahkan jika Arkan langsung berlari kepadanya dan mencumbu dirinya. Lava tetap akan membalasnya. Ayolah, Lava tidak akan marah ketika dia sendiri tau bahwa dunia sedang mempermainkan dirinya. Jadi, Lava akan lebih gila. Sangat gila.

Dan satu lagi, Lava tidak akan mempertanyakan maksud dari kelakuan Gladia. Karena akan Lava ulangi, bahwa dia akan lebih gila di dalam dunia yang gila ini.

Berbicara tentang hari ini, Lava bisa dihitung lebih banyak menghabiskan waktu di rooftop. Setelah beradu mulut dengan Shaga, Lava langsung menuju rooftop dan membiarkan dirinya gila sendirian di sana. Menghadapi bisingnya suara dari dalam kepala itu sendirian.

Aish! Ini sedikit menjengkelkan. Terlebih ia menemukan jam tangannya yang telah menunjukan pukul setengah enam sore. Artinya gelap memang akan segera melahap alam semesta. Lava masih betah berada di sini. Bahkan kala matanya menangkap pergerakan Gladia dan Arkan yang beranjak pergi, kaki Lava tetap tertahan di sana.

"Ck, ini lagi cari tempat sepi atau lagi nunggu waktu yang tepat buat bunuh diri?"

Lava reflek melihat ke belakang. Dan sesuai dugaannya, dia adalah Shaga. Pakaiannya masih sama dengan dirinya, menggunakan seragam sekolah.

"Tergantung. Kalo memungkinkan ya gue pilih opsi kedua," jawab Lava enteng.

Shaga diam. Ia menatap Lava cukup lama, dimana Lava langsung protes kala merasa tengah ditelanjangi bulat-bulat oleh tatapan Shaga. "Apa?" sewot Lava.

EPOCH [Selesai]✓Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon