11. Harus Sembunyi!

Start from the beginning
                                    

Wildan langsung mematikan ponselnya sepihak. Jujur saja ia merasa kesal, apalagi kalau ada cowok lain yang mengajak Inara jalan. Dipikir ia tidak pernah mengajaknya jalan?

“Kok, dimatiin sih, Wil. Kasian!” tutur Inara kesal.

“Katanya mau dirahasiakan sama temen sekolah. Kalau kamu tetangga aku,” ujar Inara.

“Maunya sih, gitu Ra. Tapi, 'kan cowok bencong itu pernah ke sini, jadi sekalian aja gue hajar!” seru Wildan tertawa.

“Btw Ra. Kita lebih dari tetangga! Masa nggak tahu,” goda Wildan menaik turunkan alisnya.

Pipi Inara memerah seperti tomat. Entah Wildan menganggapnya apa, tapi yang jelas ia merasa senang, itu saja.

“Ih, apaan sih, Wil!” Inara mendorong kepala Wildan agar bangun dari pahanya.

“Ceilah, ngambek!” ledek Wildan. Ia memajukan wajahnya, melihat muka Inara lebih dekat. Terlihat senang, tapi juga sedikit menjengkelkan.

“Lagi PMS, Ra?”

Pertanyaan itu sontak membuat pipi Inara semakin merah, Wildan selalu peka. Karena jika ia sedang kedatangan bulan, moodnya mudah berubah, seperti tadi. Rasanya seperti diterbangkan di langit, tapi juga langsung dijatuhkan begitu saja. Padahal, Wildan tidak mengucapkan apapun.

Inara mengangguk pelan. “Em ... Iya. Wil,”

“Menurut mbah Google, gue pernah baca. Katanya kalau cewe lagi PMS, hormonnya meningkat, jadi rasanya pengen dimanja-manja gitu. Iya nggak?”

“Eng ... Enggak tahu, Wil,” jawab Inara berbohong.

“Bagus, lah! Lagipula gue juga mau pulang. Bye Inara!” pamit Wildan berdiri enggan pergi.

Inara mendegus, merasa kecewa. Mau bilang iya. Takut nanti dikira terlalu berharap pada Wildan.

Wildan tertawa geli melihat Inara yang murung. Ia menarik tangan Inara untuk berdiri. “Canda Ra, serius amat!”

“Ayo, jalan-jalan,” ajak Wildan.

Mata Inara langsung berbinar. “Beneran, Wil?”

“Iya, Ra. Ayo!” Wildan mengambil kunci motor milik Inara yang ada di meja.

“Ke alun-alun aja ya, Ra. Bensin lo, merah nih,” ujar Wildan menaiki motor dengan cengengesan.

“Iya, Wil. Terserah kamu aja.” kata Inara menaiki motor.

“Sip. Pelukan dong, Ra. Biar kaya orang pacaran,”

Wildan menuntun kedua tangan Inara untuk melingkar diperutnya. Entah kenapa, Inara hanya diam menurut. Mungkin benar, hari ini ia ingin dimanja Wildan. Ia bahkan menaruh dagunya ke bahu Wildan saat mesin motor dinyalakan.

Motor terus melaju membelah jalanan. Untung saja, alun-alun kota Klaten dekat dengan perumahan mereka. Jadi, tidak memerlukan bensin, juga waktu yang lama.

Dari spion, Wildan dapat melihat wajah sumringah Inara. Ia memegang kedua tangan yang melingkar dipeluknya, mengusapnya pelan. Rasanya senang, sangat senang jika pergi berdua dengan Inara seperti ini.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan yang hanya sepuluh menit saja. Mereka sudah sampai.

“Ra, mau beli apa?” tanya Wildan saat turun dari motor.

“Emang bawa uang?” bukannya gimana-gimana tapi biasanya Inara yang suruh membayar.

Wildan terkekeh. “Takut banget gue suruh bayar?”

Inara memajukan bibirnya. Wildan mengandeng tangannya. “Kali ini gue yang bayar Ra. Kali-kali, 'kan?”

AMBIVALEN (End)Where stories live. Discover now