Sedingin Es

4.6K 385 9
                                    

Malam dihiasi gerimis yang merintik pelan. Perut Rakha keroncongan. Ia melirik meja makan yang kosong tanpa satu pun makanan. Ia mengembuskan napas dengan rutukan panjang bergema dari sudut hatinya. Sudah menikah sama saja seperti saat masih lajang. Urusan makanan harus disiapkan sendiri. Status istri yang melekat pada Mustika nyatanya hanya sebagai pajangan. Wanita itu tak pernah peduli apa yang Rakha makan dan bahkan urusan rumah juga sama sekali tak ia perhatikan. Semua tampak jelas dari kulit kacang yang bertebaran di sofa dan lantai ruang tengah. Rakha geleng-geleng melihatnya.

Rakha semakin kesal kala melihat Mustika duduk di sofa ruang tengah dangan satu tangan yang aktif mengganti channel televisi. Baju yang ia kenakan sekenanya. Begitu juga dengan rambutnya yang digulung sekenanya. Sama sekali berbeda jauh saat wanita itu tampil di luar, rapi dan elegan. Atau memang begini cara Mustika membalas rasa sakit hatinya? Membiarkan diri tampil awut-awutan di depan suami agar sang suami tak berselera padanya? Sayangnya meski Mustika tampil berantakan sekalipun, di mata Rakha tetap menarik.

"Enak sekali, ya. Makan sampai kulitnya berceceran. Di sekolah kamu selalu mengajar anak didikmu untuk membuang sampah ke tempatnya, 'kan? Atau mereka kamu ajari membuang sampah sembarangan?" Rakha bersedekap dan tak sedikit pun mengalihkan tatapannya. Tatapan menginterogasi.

Mustika melirik Rakha sepintas. Ia kembali mengalihkan tatapannya pada layar televisi.

"Nanti aku bersihkan," ujarnya singkat.

"Aku bebaskan kamu makan, nggak ngerjain tugasmu sebagai istri, nggak beres-beres, asalkan jaga kebersihan di rumah ini. Bisa nggak sedikit aja kerja sama?" Rakha masih mencecar. Terkadang ia kesal melihat Mustika yang sama sekali tak peka. Di sisi lain, ada rasa bahagia bisa menatap wanita itu setiap hari meski Mustika tak merasakan hal yang sama.

Mustika menutup toples yang berisi kacang itu lalu menatap Rakha tajam.

"Kamu keberatan aku tinggal di sini? Kenapa kamu ngajak tinggal di sini? Kenapa nggak balikin aku aja ke orang tuaku?"

Rakha mencelos. Dia menahan diri untuk tidak keluar kata-kata yang fatal. Dia ingat bahwa jatuhnya talak ada di suami. Kata-kata Mustika begitu menantang dan ia tidak akan terpancing.

"Aku tidak akan terprovokasi oleh kata-kata kamu. Aku minta hal sederhana saja kamu sudah seemosional ini." Rakha berbalik mengambil sapu. Ia menyapu lantai dan tak peduli di atas kulit kacang yang berserakan itu ada kaki Mustika.

Mustika merasa risih saat telapak kakinya tersenggol rambut sapu yang digerakkan maju mundur oleh Rakha. Dengan menggerutu ia angkat kakinya. Mustika tak peduli dengan kesibukan Rakha yang berusaha mengumpulkan kulit-kulit kacang itu.

Selesai menyapu, Rakha memesan makanan melalui aplikasi delivery makanan online. Ia memesan ayam bakar dan nasi untuknya dan Mustika. Untuk mengganjal perut yang sudah keroncongan, Rakha membuat teh hangat sebagai teman makan biskuit.

Mustika tak bersuara kala Rakha duduk di ruang tengah dengan setoples biskuit dan segelas teh. Ia alihkan perhatiannya pada layar televisi.

"Sepertinya besok aku harus membeli bahan-bahan makanan, biar saat lapar begini, aku bisa masak. Sekalian beli buku resep, biar kemampuan masakku lebih baik. Nggak ada yang masakin soalnya, jadi ya harus belajar sendiri." Rentetan kata-kata keluar dari bibir Rakha tanpa peduli dengan keberadaan Mustika. Ia berharap Mustika tersindir.

"Bagus itu, sekalian aja nanti buka restoran," celetuk Mustika.

Rakha semakin senewen. Yang menyebalkan, Sang Istri justru terlihat semakin menarik dengan celana pendek yang menampakkan sebagian pahanya. Segera Rakha mengalihkan tatapan ke arah lain. Ia tahu, Mustika tak bisa disentuh dan ia tak mau menyiksa diri dengan menahan hasrat.

Mantan Dosen Pembimbing (Completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora