Eps. 30: Hari Sabtu?

Mulai dari awal
                                    

Bagaimana tidak? Kalau tadi berbicara sambil meremas jemari satu sama lain, kini Ezra dengan beraninya meraih salah satu tangan Lavisha dan menggenggamnya dengan erat. Otomatis, perhatian gadis itu langsung terfokus kepada Ezra yang kini terlihat memperhatikannya tepat di mata dengan tatapan yang begitu tulus.

"Untuk semua omongan gue waktu malam itu, jujur aja, Sha. Sama sekali nggak ada kata bohong atau setingan supaya orang tua gue anggap kalau gue serius sama lo. Bener-bener nggak pernah gue berpikiran kayak gitu sebelumnya. Lo bisa liat mata gue sekarang." Tangan yang semula menggenggam jemari Lavisha, kini berpindah. Memegang kedua bahu gadis itu cukup erat, meminta supaya Lavisha hanya menatap tepat ke arahnya saja.

"Liat mata gue. Apa gue terlihat lagi bohong?"

Sementara itu, Lavisha yang dibegitukan hanya bisa tertawa kecil. "Ya, sori," ujarnya. "Gue nggak bisa lihat lo beneran jujur apa enggak. Gue nggak tau caranya, haha."

Lagi-lagi tertawa. Memang receh agaknya mereka berdua ini. Tidak tahu bagaimana jadinya semisal keduanya menjadi pasangan yang tinggal di bawah satu atap yang sama. Pasti kehidupan mereka akan menjadi sangat-sangat berwarna atau malah sebaliknya?

"Btw, gue pengin mastiin satu hal deh."

Lavisha kembali mengerutkan alisnya. "Apa?"

"Bentar, ya." Tanpa menunggu reaksi dari Lavisha, Ezra langsung beranjak. Kembali memasuki minimarket entah untuk melakukan apa. Gadis itu hanya diam sambil menggoyangkan kakinya untuk menghilangkan bosan. Ah, ia juga bahkan baru menyadari kalau dirinya belum menghubungi sang bibi jikalau kemungkinan, ia akan pulang terlambat. Sedikit lebih lambat daripada seharusnya, memang.

Mungkin sang bibi akan memarahinya karena untuk pergi membeli sabun pencuci piring saja, Lavisha membutuhkan waktu berjam-jam seolah-olah gadis itu pergi mencarinya langsung ke pabriknya. Diraihnya ponsel yang sejak tadi dimasukkannya ke saku, tetapi saat dilihat, ternyata ponsel yang dikantunginya itu adalah ponsel kantor!

Astaga, Lavisha kontan menepuk dahinya. Merasa bodoh dengan yang ia lakukan. Seharusnya, ia meninggalkan ponsel milik kantor di kamar dan membawa ponsel miliknya untuk pergi ke minimarket. Lah, ini!? Ia malah membawa ponsel yang hanya digunakan untuk melayani pelanggan.

"Eh, anjir! Napa lo ceroboh banget, sih, Sha!?" Gadis itu menepuk dahinya kuat-kuat. Begini, deh, kalau tidak fokus. Bawaannya salah-salah terus. Lavisha bahkan sampai pusing sendiri dengan kecerobohannya yang menyusahkan ini.

Akan tetapi, ada gunanya juga ia membawa ponsel milik kantor, sebab beberapa detik setelah ia merutuki segala kebodohannya, ponsel itu tiba-tiba berdering. Pertanda jika ada panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Lavisha segera memperhatikan keadaan sekitar. Takutnya nanti ia akan terlihat aneh karena menjawab telepon dari seseorang dengan gaya suara yang sengaja dibuat mendayu-dayu seperti sinden.

Setelah memastikan sekitarnya terasa aman, Lavisha lantas berdeham sekali. Kemudian segera menjawab panggilan masuk tersebut dengan senyuman. Walaupun pelanggan yang menelepon tidak bisa melihat senyumnya, tetapi tidak masalah. Toh, memang beginilah seharusnya. Tugas seorang operator memang begitu, bukan? Tidak peduli mau sehancur apa pun kehidupan yang tengah menyertaimu, operator harus tetap berusaha profesional walaupun hanya dalam bentuk suara seperti ini.

"Halo selamat pagi menjelang siang, user. Anda tengah terhubung dengan operator LOVORENT. Adakah yang bisa kami bantu?"

Tidak ada jawaban selama beberapa detik, membuat Lavisha mengernyitkan dahinya samar, kemudian menatap layar ponselnya. Dipikir, mungkin saja pelanggan tadi sudah memutuskan sambungan, tetapi saat dilihat, sambungan telepon tadi masih terhubung, kok. Akhirnya, Lavisha memilih kembali bertanya---seperti yang selalu ia lakukan sebelum-sebelumnya.

✓LOVORENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang