Eps. 30: Hari Sabtu?

125 18 7
                                    

Sejak belasan menit yang lalu, tidak ada yang bisa keduanya lakukan kecuali diam. Entahlah, tidak tahu siapa yang memulai kecanggungan ini karena baik Lavisha dan orang yang menyapanya tadi, masing-masing belum ada yang kembali membuka suaranya sama sekali.

Omong-omong, keduanya masih berada di depan minimarket bernama LovasMart dan duduk di kursi yang memang disediakan tepat di depannya. Mulanya sih, Lavisha ingin langsung pergi saja, tetapi Ezra lebih dulu menahannya. Lelaki itu bahkan sempat-sempatnya masuk dulu ke minimarket tersebut untuk membeli minuman dan bodohnya Lavisha menunggu Ezra hingga kembali.

Iya, siapa lagi memangnya orang yang menahannya tadi kalau bukan Ezra? Lelaki yang sudah sekian lama tidak ia cari tahu keberadaannya, kini muncul lagi dengan penampilan yang jauh lebih tampan daripada sebelum-sebelumnya. Lavisha bahkan sempat mengingat kata-kata orang yang mengatakan, 'orang kalau sudah menjadi mantan, pasti semakin cakep'.

Akan tetapi, kan, memangnya Ezra adalah 'mantan'-nya? Kalau saja tidak pernah terlibat dalam hubungan di atas kontrak, pastinya status itu tak akan pernah ada, bukan?

"Lo gimana kabarnya, Sha?" Lama tidak bersuara, akhrinya Ezra memberanikan diri untuk bertanya tepat setelah minuman soda yang dibelinya tadi tersisa setengah.

Sementara itu, Lavisha yang mendengar pertanyaan yang Ezra ajukan barusan, tiba-tiba saja tertawa kecil. "Kan, tadi lo udah nanya hal yang sama, Zra."

"Oh iya."

Akhirnya, kedua manusia dengan usia sama itu tertawa. Mentertawakan kebodohannya sendiri sampai-sampai tidak sadar kalau mereka menjadi perhatian orang-orang yang datang untuk berbelanja. Walaupun pelanggan-pelanggan yang datang hanya memberikan lirikan, tetapi dari lirikannya, kentara sekali jika mereka benar-benar penasaran.

"Btw, ada yang mau lo omongin, nggak? Soalnya gue mau balik. Belum nyuci piring, soalnya."

"Bentar, bentar." Lavisha yang baru saja hendak berdiri dari duduknya, langsung ditahan oleh Ezra dengan cara mencekal pergelangan tangan gadis itu. "Ada yang perlu gue bicarain."

Gadis berusia 24 tahun itu akhirnya mengangguk saja, kemudian berusaha menatap Ezra untuk menanggapi apa pun yang nantinya akan dibicarakan oleh lelaki itu. "Ngomong aja."

Ezra terlihat menghela napas panjang, seolah-olah tengah meyakinkan diri bahwa ia siap menyuarakan apa pun yang berada di dalam pikirannya. "Soal ... waktu itu."

Dahi Lavisha otomatis berkerut samar kala mendengarnya. Saat menyadari waktu itu yang Ezra maksud, ia kemudian mengangguk tanpa mengerti. "Oh, yang waktu acara perusahaan lo itu ya?"

"Bukan-bukan, eh, maksud gue iya." Ezra menggaruk dahinya yang mendadak terasa gatal. "Gini lho, kalau yang lo tebak tadi soal acara perusahaan, iya bener. Tapi itu perusahaan punya bokap gue."

Mendengar pembelaan Ezra barusan, Lavisha jelas tertawa karenanya. Rasanya lucu saat melihat bagaimana Ezra berusaha menjelaskan, tetapi dalam kondisi gugup seperti itu. Tidak tahu jugalah apakah lelaki itu benar-benar gugup atau tidak, Lavisha hanya berani menebak-nebak saja.

"Iya, iya. Kan sama aja, Ezra."

Lagi-lagi, keduanya diam. Masih sama awkwardnya dengan suasana tadi, tetapi bedanya kali ini, keduanya diam seolah-olah lupa apa yang harus dibicarakan, terutama Ezra. Setelah kejadian barusan, lidahnya bahkan terasa kelu dan susah sekali untuk melanjutkan apa yang akan ia omongkan. Pertemuannya kembali dengan Lavisha, malah jadi sekaku dan setidak menyenangkan ini.

Sampai akhirnya, Ezra pun kembali memberanikan diri untuk melanjutkan apa yang ingin dibicarakannya tadi. Akan tetapi, sumpah, ya, saking beraninya, lelaki itu malah bertindak agak kelewatan beraninya.

✓LOVORENTWhere stories live. Discover now