Eps. 22: Video

35 13 0
                                    

"Tadi siapa yang antar? Klien kamu?"

Baru saja melangkahkan kaki masuk ke rumah, Lavisha sudah berikan pertanyaan yang lumayan ingin ia hindari itu. Sumpah, ya, inilah salah satu alasan yang membuatnya malas jika harus diantar oleh kliennya hingga ke rumah, sebab sang ibu pasti selalu saja ingin tahu.

Bukan masalah apa-apa, semua hanya perkara siapa yang mengantar dan dengan apa mereka mengantar. Jika hanya menggunakan motor, ibunya itu akan berkata, "Cuma pake motor. Dibayar berapa itu tip-nya nanti?" Lalu, kalau misalnya diantar menggunakan mobil, sang ibu juga akan bilang, "Mobil mahal, tuh. Pasti tip-nya besar."

Lavisha sebenarnya tidak mau menjawab, tetapi rasanya tidak sopan karena biar bagaimanapun, Bu Dini adalah orang yang sudah membesarkan dan memberinya tempat tinggal selama ini. Alhasil, dengan senyum tipis yang terkesan agak terpaksa, ia menjawab, "Bukan, Bu."

Berbohong adalah jalan ninja di situasi-situasi seperti ini. Apalagi hari sudah malam dan ibunya itu masih saja betah duduk di depan televisi menyala yang menampilkan tayangan sinetron.

"Itu tadi taksi online, kok."

Bu Dini menatapnya dengan raut tak percaya. "Masa?" Wajah ibu dua anak itu terlihat masam. "Tumben banget naik taksi online. Motormu ke mana? Digadai?"

Lavisha mengembuskan napas lelah. "Bu, nanyanya nanti aja, ya? Visha gerah banget, pengin mandi." Setelah mengatakannya, gadis itu langsung beranjak meninggalkan sang ibu yang tampaknya masih belum puas atas jawabannya barusan.

Akan tetapi, rupanya jawaban yang ia berikan malah menjadi bumerang tersendiri. Terlebih saat sang ibu kembali bertanya dengan nada tak ramah. "Gerah? Kamu habis bikin anak sama klien kamu, ya!?"

Kata-kata yang terlontar dari belah bibir ibu angkatnya itu memang tajam dan tanpa filter sama sekali. Bukan sekali dua kali Lavisha mendengar tuduhan ini, tepatnya hampir setiap ia memiliki klien dan pulang malam dengan diantar mobil. Akan tetapi, ayolah. Ini bahkan masih terlalu awal untuk segala pikiran kotor yang menguasai kepala sang ibu.

"Astaga, Bu, enggak." Lavisha memijit dahinya yang berdenyut. "Ibu kenapa, sih, pikirannya selalu aja kayak gitu kalau sama Visha?"

Bu Dini berdecak, seraya mengganti saluran televisi secara acak, tidak tahu apa yang ia cari karena sejak tadi terus-menerus dipindah ke beberapa saluran yang sama berulang-ulang. "Bukan salah Ibu kalau berpikiran kayak gitu, tapi salahkan pekerjaan kamu."

Kalau sudah membawa-bawa pekerjaan, Lavisha hanya bisa diam. Diam-diam mendumal dalam hati seraya memupuk kesabaran ekstra supaya mampu bertahan menjalani semua cobaan.

"Jujur sama Ibu. Sebenarnya kamu itu open BO, kan?"

"Astaga, Bu! Lavisha nggak gitu!"

Sumpah, Lavisha tidak mengerti kenapa ibunya sampai memiliki pikiran seperti itu? Dia bahkan tak pernah sekali pun membayangkan jika pekerjaan itulah yang menjadi pilihannya. Lagi pula, LOVORENT bukan tempat menjual diri, bukan? Namun, entah kenapa sebuah kenyataan seolah menampar Lavisha hingga jatuh tersungkur.

Ya Tuhan, kenapa ia baru menyadarinya?

Meskipun LOVORENT adalah perusahaan yang menawarkan jasa, tetap saja bukan, jika para pegawainya masing-masing 'menjual diri' walaupun dalam artian yang berbeda? Ah, tidak-tidak. Pekerjaannya adalah pekerjaan yang halal dan Lavisha meyakini hal itu.

Kembali ke masa sekarang, sang ibu kini bangkit setelah mematikan televisi yang menyala, kemudian bergerak menghampiri Lavisha yang hanya diam sejak tadi di tempatnya sejak beberapa saat lalu. "Kemarin Ibu dapat informasi dari teman arisan Ibu."

✓LOVORENTWhere stories live. Discover now