Chapter 34

545 42 6
                                    

Mia tak mengerti apa yang dipikirkan Kalinda saat ini. Bukannya cuek, sikapnya saat ini seolah menganggap bahwa rumah tangga mereka baik-baik saja. Bukannya Kalinda menginap di rumahnya karena tidak ingin bertemu dengan suaminya itu, tapi sekarang malah menyiapkannya makan. Jika tau begitu mengapa tidak pulang saja lalu berbaikan. Ia memang tak paham. Mia hanya bisa menghela napas panjang menyaksikan Kalinda yang mengisi piring kosong suaminya dengan telaten, di sini ia justru merasa sebagai pengganggu di rumahnya sendiri.

Jika saja boleh jujur, ia bahkan merasa tidak nyaman dengan keberadaan bosnya itu. Bagaimana tidak, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, tangannya gemetaran hanya saat mata mereka tak sengaja bertabrakan. Ah, rasanya pria ini lebih menyeramkan jika dilihat dari jarak dekat, ia tak bisa bayangkan bagaimana keadaan Kalinda selama ini berada dekat dengannya. Tapi juga terlihat lebih tampan jika dari dekat, huh, itu yang membuatnya iri saat ini. Kalinda bisa melihatnya setiap hari.

"Kamu nggak makan?" Ia tersentak kaget mendengar pertanyaan Kalinda. "Ah, iya, ini mau makan." Ia melirik Swara sekilas yang juga tengah menatapnya. Segera Mia memalingkan wajah dan mengambil apa saja yang ada di depannya.

Makan malampun dimulai, tak ada yang membuka percakapan, mereka sibuk memakan makanan yang ada di piring mereka masing-masing. Atau mungkin sibuk dengan pikirannya sendiri, sehingga hanya ada suara detingan sendong yang mengiringi makan malam mereka.

Setelah selesai makan Mia menyuruh Kalinda untuk tidak usah membereskan piringnya, biar dia yang melakukannya, sekaligus kode agar dia bisa menghabiskan waktu berdua dengan suaminya sebelum pulang. Kalinda yang menyadari kedipan mata itu hanya bisa menatapnya tajam.

"Sudah malam, aku mau pulang." Tangannya reflek memegang ujung kemeja Swara saat ia berdiri. Pria itu menaikkan alisnya melihat reaksi Kalinda. "Kenapa?"

"I-itu ...."

Swara terus memperhatikan gerak-gerik Kalinda yang sulit menjawab pertanyaannya. Lalu tanpa sadar senyumnya mengembang. "Apa kamu tidak ingin aku pulang, hm? Kalau begitu ikutlah pulang bersamaku."

Dadanya berdesir mendengar kalimat Swara barusan. Seketika ia salah tingkah, bukan itu yang mau ia katakan.

"Bukan. Sebenarnya aku ingin menanyakan satu hal."

"Apa?"

"Ini tentang Alana."

Raut wajahnya seketika berubah mendengar nama perempuan itu, "apa yang ingin kamu tanyakan tentang dia?" Kalinda bisa merasakan perbedaan nada bicara dalam kalimatnya.

Kalinda tertegun, ia kembali menimang-nimang apakah akan menanyakan ini langsung kepada Swara. Ia hanya ingin menanyakan apakah benar bahwa mereka berdua pernah memutuskan untuk menikah, dia dan Alana. Walaupun Swara masih belum mengingat setidaknya seseorang pasti akan menceritakan jika itu memang benar.

Cukup lama Kalinda hanya diam, hingga akhirnya Swara kembali membuka mulutnya. "Tidak perlu membahas perempuan itu, dan jangan pernah juga menemuinya."

"Kenapa?" Tanyanya ingin tau.

Dengan muka seriusnya Swara berjalan mendekat, ia mengikis jarak di antara mereka berdua. "Karena dia bukan perempuan baik." Bisiknya, tepat di samping telinga. Kalinda bahkan bisa merasakan deru napas lelaki itu.

Ini bukan yang pertama kali bagi mereka sedekat ini. Namun sensasinya selalu sama, mendebarkan di seluruh tubuh. Kalinda bahkan sampai menahan napas, entah untuk apa. Jika seseorang melihat posisi mereka dari samping mungkin akan salah sangka, dan itulah yang dialami Mia saat ini. Mulutnya terbuka lebar menyaksikan drama gratisan yang ada di hadapannya. Ia menyesal karena tidak langsung pergi ke kamar, adegan yang Mia lihat saat ini bisa memunculkan hormon ngebet nikah pada dirinya. Dan itu sangat tidak baik karena dia belum punya pasangan. Hingga akhirnya ia meninggalkan pasangan itu berdua.

"Bagaimana bisa Mas mengatakan bahwa dia bukan perempuan baik? Apa kalian saling dekat sebelumnya?"

Swara menarik kepalanya untuk sedikit menjauh dari Kalinda. "Ya, dulu kita dekat."

Raut wajah Kalinda berubah, ia tak percaya lelaki itu mengatakannya semudah itu. "Ah, pantas saja Mas tidak menolak saat ada pilihan menikah dengannya, rupanya kalian sudah dekat."

"Apa maksudmu?"

"Sudahlah lupakan, bukannya tadi Mas mau pulang? Sebaiknya cepat pulang karena sudah malam." Kalinda tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Ia mengusir lelaki didepannya agar cepat pulang, ia sudah muak.

"Baiklah, aku pulang." Ia mengulurkan tangan, berharap Kalinda menciumnya seperti kemarin dia akan pulang.

"Aku mengantuk, maaf tidak bisa mengantar sampai depan, Mas langsung pulang saja." Setelah mengatakan itu Kalinda masuk ke dalam. Ia meninggalkan Swara yang menatap kepergiannya dengan pandangan yang sulit diartikan.

Mungkin barangkali Swara bisa menebak, apa yang akan ditanyakan Kalinda barusan.

****

Gerbang terbuka saat melihat mobil sang tuan sudah datang setelah cukup lama tak kunjung pulang. Mobil itu melesat masuk ke dalam rumah bergitu saja. Lalu saat pintu terbuka, Swara keluar dari sana. Wajahnya nampak kusut, ia memegang jas di tangan kanan dan melonggarkan dasinya sembari masuk ke dalam. Langkah kakinya menghasilkan bunyi yang menggema di sepanjang ruangan. Ia hanya ingin mampir sebentar untuk mengambil beberapa dokumen yang ada di kamarnya, lantar segera pergi dari sana.

Ia membuka pintu kamar, di sana nampak lengang. Ia berdiri di ambang pintu, matanya mengamati setiap sudut kamar dengan pandangan rindu, rindu akan sosok yang selalu ada di sana saat ia pulang kerja. Namun sekarang kamar ini terasa hampa, dengan aroma perempuan itu yang ia tinggalkan di sana.

Tak ingin larut lebih dalam Swara segera mengambil barang yang ia butuhkan, ia juga mengambil beberapa pakaian untuk ditaruh di apartemen Alex nantinya. Lalu saat ia hendak berbalik dan akan keluar, seseorang sudah berdiri di pintu sembari menatapnya dalam diam. Cukup lama ia berdiri di sana mengamati anak sambungnya itu mengemasi beberapa pakaian. "Untuk apa semua itu?"

Swara memutar bola matanya malas, ia sedang tidak ingin terlibat perbincangan yang bisa memancing emosinya keluar. Lalu dengan santai ia melewatinya begitu saja.

"Tunggu!" Ia menghentikan langkah, namun enggan membalikkan badan.

"Apa kamu tidak kasihan dengan Alana, dia sudah menunggumu. Bahkan dia sudah menyiapkan makan malam untukmu dengan tangannya sendiri."

Swara tersenyum miring mendengar ucapan wanita yang sudah menginjak kepala lima itu, lalu ia berbalik. "Sungguh? Lagi pula siapa yang menyuruhnya? Katakan padanya untuk jangan bersikap seperti layaknya istri bagiku. Aku hanya punya satu istri, dan itu adalah Kalinda." Sorot matanya memancarkan kesungguhan, beberapa saat Sintya tertegun mendengarnya, hingga tanpa sadar ia membiarkan lelaki itu pergi begitu saja.

Swara telah memikirkannya dengan matang, ia harus segera mengambil keputusan. Ia tidak akan membiarkan Kalinda lebih lama tertekan dengan apa yang ia lakukan, ia akan membuat perempuannya bisa bernapas dengan tenang. Ia ingin melihat tawa lepas keluar dari bibirnya. Wajah itu sudah cukup lama menderita, dan Swara tak ingin wajah itu menderita lebih lama lagi.

Karena dia sudah memutuskan, untuk mempertahankan Kalinda di sampingnya dan akan berusaha membahagiakannya. Dan setidaknya ia harus segera memulainya dari sekarang ....

*









Selamat merayakan hari raya Idul Fitri bagi kalian yang merayakan:)

See you♥️





Garis Batas (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang