Chapter 19

436 34 1
                                    

"Ada perlu apa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Ada perlu apa?"

Alana tersenyum mendengar pertanyaan itu, "aku hanya ingin berkunjung."

"Aku sedang sibuk."

Ia menghela napas, "apa kamu benar-benar tidak mengingatku, Karan?"

Pandangannya menatap iris mata coklat gadis yang duduk di hadapannya ini. Sorot matanya memancarkan kerinduan yang mengharap pertemuan, namun tidak mungkin akan di kenali oleh orang yang ia harapkan.

"Kurasa itu pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Aku tidak mengenalmu."

Seharusnya Alana sudah menduga, "aku tunanganmu. Seharusnya sekarang kita sudah menikah."

Alana memperhatikan reaksinya yang hanya diam sembari menatapnya datar. Seolah pernyataan yang baru saja ia ucapnya sama sekali tidak akan membuat perubahan apapun pada dirinya.

"Lalu, apa maumu?"

Sungguh bukan jawaban itu yang ia harapkan. "Aku hanya ingin kamu mengingatku."

Ia memalingkan muka, enggan menatap wajah Alana.

"Aku yakin kamu bisa mengingatku lagi,  kamu hanya perlu menghabiskan waktu lebih lama bersamaku." Ucapnya pernuh harap.

"Aku tidak bisa," terangnya sembari memberesnya berkas-berkas yang ada di atas meja, "sebaiknya kau pergi, setelah ini aku ada janji."

"Janji dengan siapa? Perempuan itu."

Gerakannya terhenti, ia mendongak lalu menatap tajam ke arahnya, "perempuan siapa yang kau maksud?"

"Perempuan yang menikah denganmu karena kakeknya yang menyuruh."

"Dia punya nama!" Tekannya.

"Ya aku tau. Namanya Kalinda, bukan." Entah ia memang berniat mengejek atau bukan, tetapi nadanya sama sekali tidak Swara suka.

Gadis ini mengacaukan suasana hatinya. Entah benar atau salah bahwa dulu mereka pernah bertunangan, jika memang benar, bagaimana bisa ia menerima tunangan itu. Atas dasar apa? Atau mungkin itu hanyalah karena terpaksa, atau memang karena cinta. Entahlah, ia tak ingin mempermasalahkan, yang terpenting adalah siapa sekarang yang sudah menikah dan menjadi istrinya. Maka dialah pasangannya.

"Besok pagi, aku akan ke sini. Kuharap kamu bisa meluangkan waktu."

Swara hanya terdiam, melihat itu Alana berdiri lalu berjalan keluar dari ruangan.

Ia keluar dengan rasa kecewa. Matanya mulai berkaca-kaca, ia merindukan Karannya, lelaki yang sangat berarti dalam hidupnya. Namun apakah takdir memang sedang tidak berpihak padanya, yang justru membuat perempuan lain yang menggantikan posisinya.

Ia memelankah langkah saat melihat seseorang hendak keluar dari kantor. "Tunggu!" Alana segera menyusul langkahnya.

Perempuan itu berbalik, terdiam menatap lurus ke arahnya. Dan Alana yakin perempuan itu tidak mengenal dirinya, akan tetapi dengan senang hati ia akan mengajaknya berkenalan. Dengan cara yang menawan.

"Boleh kita bicara sebentar."

Kalinda merasa kikuk mendengar pertanyaan itu, "maaf, siapa ya?"

Ia tersenyum, "akan aku jelaskan nanti, bagaimana kalau kita bicara di dalam mobil?"

Sedikit tidak yakin, namun kepalanya mengangguk menutujui tawaran Alana. Ia mengikuti wanita cantik itu dari belakang, sampai mereka masuk ke dalam. "Sebelumnya perkenalkan, namaku Alana." Ujarnya sembari mengulurkan tangan.

Kalinda membalas uluran tangan itu, "Kalinda."

"Aku tau."

Alis Kalinda terangkat, namun segera kembali seperti semula. "Ada yang bisa dibantu?"

Ia kembali melihat senyum Alana, senyum itu terlihat sangat cocok untuk wajah cantiknya. Jika dirinya saja bisa terpesona, bagaimana dengan para pria yang melihatnya. Kalinda yakin banyak lelaki yang mengantri untuk dirinya.

"Tentu, aku sangat butuh bantuanmu. Tapi tidak untuk sekarang, aku hanya ingin berteman. Apa kamu keberatan?"

"Berteman?" Tanyanya heran.

"Oh maaf aku lupa memberitahumu. Aku temannya Karan, kami sudah cukup lama saling mengenal, aku juga tau tentang hubungan kalian. Tante Sintya yang beritahuku."

Entah mengapa ia menaruh curiga dengan wanita ini. Dan juga mengapa Sintya memberitahukan hubungannya dengan Swara, padahal ia yakin perempuan itu tidak mungkin ingin memberitahukan tentang kehadirannya pada orang lain. Sebab sudah jelas ia hanya mengharap Kalinda segera pergi dari sana.

"Kenapa kamu ingin berteman denganku?"

"Karena kamu istrinya Karan. Aku dekat dengannya, jadi aku juga ingin dekat denganmu. Apa kamu tidak mau?"

"Tidak-tidak, aku tidak bermaksud seperti itu."

"Tidak masalah, jadi kamu mau berteman denganku 'kan?"

Kalinda masih tidak yakin bahwa mereka akan bisa berteman, "baiklah." Ucapnya pada akhirnya.

***

Garis Batas (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang