Chapter 29

461 46 4
                                    

Kalinda

Kesan pertama yang muncul saat masuk ke dalam rumah Mia adalah minimalis. Ralat, dia berkata bahwa sudah hampir tiga tahun mengontrak di sini. Awalnya aku berpikir Mia adalah gadis yang sangat suka belanja keperluan yang tidak penting. Akan tetapi setelah melihat kontrakannya yang seperti ini membuatku sadar bahwa dia adalah gadis yang minimalis.

Sudah hampir satu jam yang lalu kami sampai, aku yang tidak membawa persiapan menginap terpaksa harus meminjam bajunya. Dalam perjalanan kemari aku menceritakan bagaimana kehidupanku selama ada di kota ini. Semua kuceritakan padanya, tanpa berpikir bahwa dia akan menceritakan kepada orang lain atau tidak, sebab saat ini aku butuh seseorang yang bisa menampung segala keluh-kesah. Namun reaksinya diluar dugaan ku, dia sama sekali tak heboh maupun menjerit terkejut saat tau aku istri dari bosnya. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala kemudian berkata bahwa dia sudah menduga aku punya hubungan dengan bosnya.

"Kalinda, kamu mau makan apa?" Tanyanya saat melihatku keluar dengan tubuh yang sudah segar.

"Makan apa saja, kamu mau masak apa?"

"Hehe, kita pesan online aja. Kemarin aku lupa belum belanja."

"Yaudah samain aja kayak kamu." Mia mengangguk lalu segera memesankan makanan.

Ponselku berbunyi, menampilkan nama orang yang sejak tadi tak henti-henti menghubungi namun ku abaikan. Lalu beberapa saat kemudian dia mengirim pesan.

Di mana?

Angkat telfon ku, Kalinda! Kita harus bicara.

Aku menatap pesan itu dengan wajah datar. Bukannya permintaan maaf dia justru malah memerintah seenak jidat.

"Aku heran, kenapa kamu merahasiakan statusmu di kantor? Bahkan sekarang seharusnya aku memanggil kamu Ibu, dong? Bisa minta tolong, Bu, naikin gaji saya."

Aku terkekeh mendengar kalimat terakhir yang Mia ucapkan, "minta saja langsung ke Mas Swara, sana."

"Kenapa masih manggil dia Swara? Kamu sudah tau nama aslinya, kan?"

"Entahlah, sudah kebiasaan."

Mia mengangguk paham, "lalu apa jawaban pertanyaanku tadi?"

Sejenak aku menaikkan sebelah alis, lalu menormalkannya saat mengerti pertanyaan mana yang ia maksud. Aku menghela napas sebelum menjawab, "aku hanya merasa nyaman kalau tidak banyak orang mengetahui kehadiranku. Apalagi tau tentang asal usul ku, itu bisa berdampak pada karir Mas Swara."

"Lalu pernikahan itu?"

Hatiku kembali terasa nyeri saat mengingatnya, sudah sejak tadi berusaha kulupakan agar air mataku tak tumpah. Aku tersenyum getir, bagaimana pun rasanya akan selalu menyakitkan saat mengetahui suamimu menikah dengan wanita lain, apapun itu alasannya. Tapi rasanya aku tak berdaya.

"Jika aku jadi kamu, aku akan suruh cerain perempuan jalang itu sekarang juga. Kalau tidak, aku yang akan pergi."

Bisakah? Bisakah aku mengancam dengan kepergianku?

"Kuyakin dia justru akan menyuruhku pergi. Penikahanku tidak seperti apa yang kamu pikirkan." Ucapku sendu.

Seharusnya di sini memang aku yang harus sadar diri. Dunia mereka akan membuatku bertambah sesak setiap harinya jika tetap memilih untuk bertahan. Dan juga seharusnya aku sudah menduga jika perpisahan akan terjadi, namun egois kah aku bila kukatakan aku tak ingin pergi. Dadaku semakin bergemuruh membayangkannya. Air mata yang sejak tadi berhasil kutahan sekarang keluar begitu saja. Kuusap dengan kasar, lalu tersenyum ke arah Mia yang menatapku kasihan. "Aku baik-baik saja, tidak usah memikirkan masalahku. Aku bisa menyelesaikannya."

Ia justru mendekat lalu merangkul ku pelan. Aku sedikit bingung dengan sikapnya, namun bisikan yang terdengar di gendang telingaku membuat tangisku akhirnya pecah. "Kamu bisa menangis sekarang, keluarkan semua yang menjanggal di dalam dada, jangan di tahan, nanti justru akan semakin sakit."

Aku menangis begitu hebatnya. Aku tumpahkan segala beban yang sudah kutahan selama ini. Rasanya sesak, sangat sesak.

"Ya. Seperti itu. Mulai sekarang kamu bisa membagi bebanmu jika sudah bosan untuk menahannya sendian. Meskipun begini, aku teman yang bisa diandalkan."

Tangisku mereda mendengar ucapannya barusan. "Ya. Jika kamu bisa menjaga rahasia."

Mia berdecak sebal, "gini-gini aku tau, ya, mana aib teman sama mana berita yang bisa disebar."

Aku terkekeh mendengarnya, lalu akhirnya kami tertawa bersama. Ah, jadi ini rasanya mendapatkan seseorang yang bisa diajak berkeluh-kesah.

****


Semalaman aku mematikan handphone agar pria itu tak mengganggu. Entah dia akan mencari ku atau tidak, aku tak ingin berharap. Rasanya aku hanya ingin menjauh untuk sementara waktu, biarkan pasangan pengantin baru itu melakukan apa yang mereka mau, aku tak ingin mengganggu. Tapi, tetap saja rasanya perih, berulang kali aku berusaha untuk tak memikirkan itu, dan hasilnya sia-sia. Dan justru aku merasa merindukannya.

Pandanganku terus menunduk memperhatikan jalan sembari membawa dua kantong belanjaan. Cuaca yang mendung membuat langkah kakiku berjalan lebih cepat untuk sampai rumah. Namun langkahku memelan seiring sesampainya di kontrakan. Di sana, pria yang sejak kemarin memenuhi pikiran berdiri dengan kedua tangan yang ia masukkan di kantong celana. Pandangannya menatap sekeliling seolah tengah menunggu seseorang. Dia hanya seorang diri ke sini dan membawa mobil di depan halaman.

Tubuhku mematung saat pandangan kita saling bertemu. Tanganku seolah tak kuat menahan beban yang kubawa, padahal tadinya biasa saja. Jantungku berdegup dengan kencang.

Dia berjalan mendekat, udara semakin menipis seiring dengan langkah kakinya. "Kalinda."

Hancur sudah perasaanku mendengar suara itu, rasanya aku ingin menangis, ingin marah, ingin memaki tepat di wajahnya. Aku masih belum kuat jika harus menghadapinya sekarang.

"Kita harus bicara."

Aku menghela napas pelan, tak ingin menatap matanya. "Bicara tentang apa?" Ucapku berusaha agar terdengar normal.

"Semuanya. Aku ingin mengajakmu keluar sebentar."

Tanganku mengepal dengan kuat. Dalam hati bertanya bagaimana bisa pria ini mengetahui keberadaanku. Apa mungkin Mia yang memberitahunya karena diiming-imingi akan naik gaji, jika benar, lihat saja nanti. Tiba-tiba kantong yang kubawa ia ambil alih, aku menatap tajam ke arahnya, dia justru tersenyum.

"Seharusnya Mas tidak ada di sini."

"Kenapa? Bukannya suami harus ada di samping istrinya?" Aku menggigit bibir mendengar kalimatnya.

"Karena itu, seharusnya Mas tetap bersama istrimu itu. Kenapa malah ke sini?"

Pria itu menaikkan alisnya mendengar ucapanku, lalu beberapa saat kemudian kembali normal. Kurasa dia mengerti apa yang kumaksudkan.

"Dia sedang tidak ada di rumah." Mulutku menganga tak percaya, apakah karena Alana tidak bersamanya lalu dia datang mencari ku?

"Karena itu aku datang ke sini untuk membawanya pulang. Meminta maaf dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tolong doakan aku semoga dia mau memafkan dan pulang hari ini bersamaku. Dia perempuan yang sedikit keras kepala, jadi akan sulit merayunya."

Lagi-lagi mulutku melebar mendengar perkataannya.

"Baik, semoga dia memaafkan mu. Aku mau masuk. Minggir!" Aku menarik kantong belanjaan ku yang dia bawa lalu segera masuk ke dalam rumah.

Sialnya, dia justru mengikutiku dan bukannya pergi.



Garis Batas (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang