Eps. 21: Ezra dan Keluarganya

Start from the beginning
                                    

"Justru bagus, dong, kalau baru. Masih anget." Ibu dari Ezra itu membalas jawaban sang putra dengan nada yang seolah tak mau mengalah. "Lagi pula, memangnya kamu mau dijodohkan dengan gadis pilihan Nenekmu?"

Lavisha diam, begitu juga dengan Ezra. Bedanya, mereka memiliki pemikiran yang berlainan arah. Lavisha yang berpikir, ternyata perkara 'jodoh-dijodohkan' masih sering terjadi di dunia yang semakin modern ini, sementara Ezra yang diam saja karena tak tahu harus menjawab apa.

Akan tetapi, rupanya di sinilah manusia-manusia 'kompor' diperlukan kehadirannya dan mulai beraksi saat itu juga. Ya, siapa lagi memangnya kalau bukan Braga dan Arga yang ternyata sama saja seperti anak kembar yang berbagi pikiran.

"Iuw, kalo gue sih, nggak mau, ya. Mending cari degem alias dedek gemas sendiri." Dimulai dari Braga yang menyahut dengan nada ngeri dibuat-buat.

Kemudian, Arga yang tidak mau kalah dengan kakaknya ikut-ikutan menyahut. "Sama gue juga, ih, walaupun masih kecil gini, tapi kalo misal dijodoh-jodohin sama Nenek, mending bilang, 'nggak dulu, Nek. Skip' aja, deh."

Suasana yang seharusnya berubah menjadi panas---dalam pikiran Lavisha---itu ternyata berbanding terbalik dengan yang terjadi. Ucapan dari Arga barusan, malah mengundang tawa dari seluruh anggota keluarga Abiyoga karena memang, dari segi ekspresi dan pembawaannya, Arga memang yang paling top. Bisa-bisanya remaja 20 tahunan itu mengatakan skip-skip segala dengan entengnya semisal memang benar sedang berhadapan dengan sang nenek yang lumayan 'galak' itu, heh?

Agaknya kalau sampai hal itu terjadi, kemungkinan besar seorang Bagaskara Arga Abiyoga dicoret dari daftar hak waris oleh sang nenek karenanya.

Pada akhirnya, Lavisha tertahan hingga menjelang malam di kediaman orang tua Ezra karena agaknya satu keluarga begitu kompak menahan dirinya agar tidak buru-buru pulang dengan alasan, "Nggak apa-apa, Sha. Lagian Tante perempuan sendiri di sini. Kita ngobrol bareng soalnya para lelaki kalo udah kumpul bahasannya suka aneh-aneh."

Begitulah kiranya hingga Lavisha menurut saja karena tak tahu harus menolak dengan cara apa. Toh, ini hari terakhirnya menjadi agent untuk Ezra dan setelahnya, hubungan antara keduanya benar-benar berakhir. Sesuai kontrak, mereka tidak boleh mengungkit apa pun yang telah terjadi selama masa perjanjian kecuali atas persetujuan kedua belah pihak bersangkutan.

Makanya sejauh ini, walaupun sudah berkali-kali Lavisha bertemu atau sekadar berpapasan dengan mantan klien yang sudah memberinya rating buruk, mereka sama sekali tidak mengusik satu sama lain. Paling-paling hanya saling tatap dengan tatapan sulit diartikan, antara marah, benci dan kecewa yang menjadi satu.

"Gue anter sampe rumah aja, ya?"

Keduanya kini sudah berada di mobil, masih dengan sopir keluarga Ezra yang menyetir saat lelaki itu tiba-tiba saja menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Mengingat kejadian yang pernah terjadi tiga bulan lalu membuat Lavisha jadi berpikir dua kali.

Bohong kalau misalnya ia tidak takut, sebab semenjak kejadian itu, ia tidak pernah lagi sengaja melemburkan diri di kantor untuk mengurus laporan Lavisha memilih mengerjakannya di rumah saja walaupun dengan fasilitas yang sangat minim---hanya berbekal ponsel kantor dan wireless keyboard yang dibelinya setahun lalu.

Akhirnya, Lavisha memilih mengangguk mengiyakan. "Tapi anter ke kantor dulu, ya, bentar. Mau masukin motor sekalian titip ke satpam."

"Iya, nanti mau mampir-mampir ke mana dulu apa enggak?"

"Nggak usah, langsung pulang aja, ngeri diamuk massa, gue, haha."

Sepanjang perjalanan, suasana mendadak terasa aneh entah karena apa. Padahal, Lavisha yakin, kok, jika yang mengantarnya ini benar-benar Ezra dan sopir, bukan ... ah, tidak-tidak. Lavisha memilih mengenyahkan segala rupa pemikiran sialan yang seketika mengisi kepalanya.

Sesuai yang diminta oleh Lavisha tadi, Ezra benar-benar mengantar gadis itu ke kantor LOVORENT, menunggu sebentar hingga 'kekasihnya' itu kembali ke mobil, lantas melanjutkan perjalanan pulang. "Btw, rumah lo masih sama kayak waktu itu, kan?"

'Waktu itu' yang Ezra maksud kemungkinan adalah saat kejadian nahas yang menimpanya tiga bulan lalu terjadi. Maka, tanpa basa-basi Lavisha mengangguk. "Pokoknya dari TKP waktu itu, tinggal empat ratusan meter lagi, lah, sampe rumah."

"Orang rumah lo tau?" tanya Ezra yang membuat Lavisha berdeham pertanda ia sedang bertanya apa yang lelaki itu maksudkan. "Kejadian waktu itu."

"Oh." Lavisha menyahut singkat. "Enggak dan gue juga nggak kepikiran buat cerita, sih. Takut."

Ezra tahu diri untuk tidak mengorek informasi lebih dalam dari gadis yang duduk di sampingnya itu hingga Lavisha kemudian berujar, "Itu sebelah kiri yang pagernya cuma sedada, rumah Ibu gue."

Mobil yang dikendarai sopir keluarga Abiyoga itu berhenti tepat di gerbang yang Lavisha bilang hanya sedada itu. Memang benar, sih. Menurut Ezra juga tinggi pagar seperti itu terlihat tanggung. "Rumah ibu lo ya berarti rumah lo juga, kan?"

Bukannya menjawab, Lavisha malah tertawa saja sembari melepaskan seat belt yang terpasang di tubuhnya. "Gue balik, ya? Makasih tumpangan sama makan-makan di rumah keluarga lo tadi."

Ezra mengangguk singkat. "Anytime."

Namun, baru saja Lavisha hendak membuka pintu mobil, seketika ia mengingat sesuatu. "Ah iya, hampir lupa!" gumamnya. "Bisa ikut gue sebentar? Tapi jangan pas di depan pager, kita sembunyi di sisi kanan mobil aja."

Mulanya, Ezra tidak mengerti, tetapi akhirnya lelaki itu tetap menurut saja. Apalagi setelah Lavisha berbisik, "Sopir lo bisa jaga rahasia nggak sih, kalo semisal dia nggak sengaja nguping?"

Walaupun terlihat ragu, Ezra kemudian menjawab, "Aman." Ia memperhatikan Lavisha yang sekarang tengah mengeluarkan sesuatu dari dalam ransel hitam miliknya yang ditinggal di kantor tadi saat menyambangi kediaman keluarga Abiyoga itu.

"Ini," ujar gadis itu seraya menyerahkan selembar kertas yang barusan diambilnya dari map cokelat.

"Apa?"

"Surat pemutusan kontrak. Kan, masa berlakunya udah habis hari ini."

Lavisha terlihat enggan menatap wajah Ezra setelah mengatakannya. Ia bahkan membiarkan lelaki itu membaca ini suratnya dengan saksama, kemudian berujar pelah, "Tinggal ditandatangani doang, kok. Habis itu beres kalau semisal lo emang nggak ambil perpanjangan kontrak."

"Berarti, setelah gue tandatangani, semua yang udah terjadi sama kita sejauh ini harus pura-pura gue lupain, kan?"

Mendengar pertanyaan Ezra barusan, membuat Lavisha tertawa kecil, seraya mengangguk samar. "Iya. Tapi lama-lama lo harus beneran lupain semuanya."

Ezra ikut-ikutan mengangguk. Ia sudah mengerti apa yang harus dilakukan, maka dari itu, diraihnya bolpoin di tangan Lavisha, kemudian membubuhkan tandatangan di tempat yang telah disediakan.

Agak sakit sebenarnya saat Ezra ternyata tidak membahas apa pun lagi selain langsung menandatangani surat bersangkutan. Akan tetapi, tak apalah. Ezra bisa mencari kekasih yang sebenarnya, bukan?

"Udah, nih." Ezra menyerahkan kertas dan bolpoin tadi kembali kepada Lavisha yang tersenyum tipis, kemudian masing-masing dari keduanya saling menjabat tangan.

"Makasih banyak udah mau kerja sama dengan gue. Maaf kalau semisal pelayanan gue kurang memuaskan, ya." Lavisha berujar dengan senyum hangat yang ikut dibalas Ezra dengan senyuman yang tak kalah hangatnya.

"Makasih juga karena udah mau jadi agent gue selama ini. So, mulai sekarang, kita bukan agent dan user lagi, kan?"

Lavisha menggeleng sebagai jawaban, sementara Ezra mengangguk paham. "Oke, berarti mulai besok, kita mulai sesuatu yang baru aja, gimana?"

ס+!×
Minggu, 24 April 2022

✓LOVORENTWhere stories live. Discover now