60

2.6K 608 20
                                    

Menjadi Silvios bukanlah pilihan menyenangkan. Julian tidak bisa memilih kepada siapa dia akan terlahir kelak. Ludwig, ayah kandung Julian, tidak mengajari putranya mengenai perasaan wanita. Itu terlihat jelas dari caranya menikah atas dasar kepentingan belaka. Istri Ludwig meninggal ketika Julian berusia lima tahun. Urusan membesarkan Julian dipercayakan kepada pengasuh. 

Julian tumbuh sebagaimana anak keluarga bangsawan; tidak kelaparan, mengenakan pakaian mewah, belajar dari guru terbaik. Namun, itu semua tetap tidak bisa menutupi kekosongan yang perlahan terbentuk dalam diri Julian. Bocah cilik itu berusaha mengabaikan, menganggap dirinya bersikap manja dan tidak bisa memahami betapa sibuk Ludwig mengurus rumah tangga Silvios.

Di antara kesibukan berlatih pedang dan belajar kenegaraan, Julian kadang mendapati Ludwig membicarakan mengenai peri kepada salah satu orang kepercayaannya. Julian tahu bahwa Ludwig begitu tergila-gila dengan catatan Eugine, pendahulu Silvios, yang tersimpan rapi di perpustakaan keluarga. Ludwig meyakini penemuaan Eugine akan membawa kemakmuran bagi Silvios.

“Paduka tidak akan senang dengan tindakan Anda.”

“Dia tidak pernah senang dengan Silvios,” Ludwig menyanggah. “Aku hanya perlu menemukan peri perempuan. Bila bisa menghabiskan malam dengan salah satu dari mereka, konon akan mendapat kekebalan dari sihir peri maupun spirit sekalipun.”

Mereka berbicara tanpa menyadari kehadiran Julian yang tengah menguping, bersembunyi di salah satu lemari.

“Peri utama pasti telah mengasingkan diri ke pulau terpencil.”

“Ada beberapa peri yang memilih menetap di Izuleva,” Ludwig menjelaskan. “Jenis musim semi. Bayangkan kesaktian yang bisa kaudapatkan nanti. Tidak ada monster maupun iblis yang bisa menyentuh.”

“Itu bila Anda bisa menghabiskan malam dengan peri utama yang masih lajang, Duke. Kecil kemungkinan Anda menemukan peri tersebut.”

Ludwig tidak tertarik membina hubungan baru dengan lady mana pun. Julian mengira itu karena Ludwig masih memiliki rasa terhadap mendiang istrinya. Namun, pemikiran tersebut amat naif. Jantung Julian seolah diremas, sakit.

“Aku berhasil menangkap peri utama,” kata Ludwig. “Dia memiliki pasangan dan dari pengintaian yang selama ini aku lakukan, dia memiliki seorang putri. Aku bisa menunggu peri itu sampai dewasa. Julian bisa aku pasangkan dengan peri itu. Andai aku bisa menemukan peri tersebut.”

Barangkali lawan bicara Ludwig mengira akan mengambil anak peri itu untuk dirinya sendiri. Namun, begitu mendengar Ludwig bermaksud menyatukan Julian dengan peri tersebut, ekspresi di wajah lelaki itu mulai melunak. “Anda bermaksud menolong Tuan Julian?”

“Kutukan Suva telanjur mengalir dalam darah Silvios,” kata Ludwig, nada suaranya terdengar serak dan pilu. “Aku tidak bisa bertahan dan bisa jadi akan lekas menyusul ayahku. Namun, Julian berbeda. Dia memiliki kesempatan. Izhur membasmi monster dan mendapat kutukan sebagai hadiah. Aku ingin putraku melampaui leluhurnya. Dia harus menjadi yang utama. Dunia sarang monster? Dialah yang akan membersihkan Izuleva dari iblis dan monster ganas.”

Semenjak Julian mencuri dengar percakapan Ludwig, dia mulai memikirkan bermacam hal. Monster, iblis, kejahatan. Dia berasumsi bahwa bila semua makhluk buruk itu dibinasakan, maka dia tidak perlu mengalami kesedihan.

Mulai detik itu dia tidak pernah mengeluh ketika Ludwig menambah mata pelajaran yang ia harus pelajari. Bahkan ketika jam berlatih pedang pun semakin panjang, Julian tidak menolak. Hingga suatu hari Ludwig mengajak Julian menemui Agnar di penjara bawah tanah.

Pertama kali Julian berjumpa peri, dia tidak menyangka bahwa sosok peri amat tidak manusiawi indahnya. Dia pernah melihat pemuda tampan dan gadis rupawan, tetapi mereka semua tidak bisa menyaingi keindahan Agnar.

“Kau tidak ingin bertemu dengan calon menantumu?”

Agnar tidak membalas provokasi Ludwig. Pandangan Agnar terfokus kepada bocah cilik yang berada di samping Ludwig. Bocah itu mewarisi ciri khas Silvios; rambut merah dan mata tembaga. “Aku tidak memiliki anak perempuan yang bisa disandingkan dengan putramu, Manusia.”

Berkat penelitian Eugine, Ludwig berhasil menemukan cara menekan kekuatan peri. Menangkap Agnar bukan perkara mudah. Tidak terhitung jumlah kesatria yang harus mati demi menjebloskan Agnar ke penjara. Namun, semua pengorbanan itu berbuah manis.

“Kau selalu menganggap manusia sebagai serangga!”

“Hanya dirimu,” Agnar membalas. “Kau bahkan jauh lebih menyedihkan daripada kutu.”

Kedua tangan Julian mengepal. Dia ingin membuktikan bahwa ayahnya benar! “Sombong!”

“Bocah Cilik,” kata Agnar, kedua matanya tampak sayu seolah ingin mengungkapkan kebenaran kepada Julian. Namun, pada waktu itu Julian hanya memikirkan mengenai membela ayahnya. “Apa kaupikir menangkap dan memisahkanku dari keluarga merupakan tindakan baik?”

“Ayah pasti memiliki alasan bagus,” Julian membela.

Sekarang Agnar menatap Ludwig, sengit. “Suatu hari putramu akan memetik buah keburukan yang kautanamkan kepada dirinya. Saranku, berhenti. Kau tidak bisa meracuni pikiran putramu. Peri tidak akan jatuh hati kepada siapa pun yang memaksakan kehendak. Kau pikir mengapa Izhur, pahlawan Izuleva yang berhasil melumpuhkan seekor naga perkasa, tetap tidak diterima lamarannya oleh peri?”

“Karena kalian pemilih,” Ludwig mendecih. “Kalian menganggap diri kalian amat mahal. Sama sekali tidak bisa melihat kualitas Silvios.”

“Pantas saja Lunius tidak bersedia mengikat kontrak dengan keturunan Izhur,” Agnar mencela. “Kalian pikir moralitas hanya berdasarkan kepentingan manusia. Kita tidak bisa mengunggulkan satu ras dan menganggap makhluk lain lebih rendah derajatnya daripada manusia. Semua saling membutuhkan. Terhubung oleh kepentingan. Bila kau tidak bisa merendahkan dirimu di hadapan orang lain ketika meminta pertolongan, maka sudah sepantasnya kau ditendang di pantat!”

Ludwig hendak maju, melampiaskan kekesalannya. Namun, kehadiran Julian mengurungkan niatnya menghajar Agnar.

“Aku pasti akan menemukan putrimu,” kata Julian, yakin. “Dia akan menjadi pengantinku dan kau akan menjadi ayah mertuaku. Aku janji akan membahagiakan kalian.”

Kening Agnar berkerut. “Aku tidak menyukai idemu. Sekalipun aku memiliki putri, maka lebih baik dia menikah dengan orang selain dirimu. Asal kau tahu, Bocah. Pada dirimu aku melihat kutukan naga. Bila ayahmu akan segera tewas oleh kutukan yang menyebabkan dirinya mati lebih awal dari perkiraanmu, maka kau akan merana dan mewarisi kesedihan sang naga. Itu akan terjadi bila kau dengan bodohnya mengikuti nasihat ayahmu.”

“Aku tidak akan berubah menjadi monster.” Julian mengeraskan hati. “Hanya orang keji yang pantas diganjar hukuman semacam itu.”

Agnar tertawa. Namun, jenis tawa yang ia perdengarkan amat miris. “Kepercayaan dirimu memang mengagumkan. Sayang kau terlalu merendahkan derajat makhluk lain, persis ayahmu. Eugine mengira bisa memanen pengetahuan dengan cara mengorbankan makhluk selain manusia. Pembantaian yang ia lakukan membuat peri menganggap Izuleva tidak aman. Andai dia berurusan dengan duyung, percayalah murka yang akan ditimpakan kepada Izuleva bukan sekadar kematian melainkan kehancuran. Peri masih berbaik hati dan memilih menarik diri. Bahkan dengan kebaikan semacam itu pun masih belum cukup bagimu, Silvios.”

“Aku tahu yang terbaik bagiku.”

Pada akhirnya peringatan Agnar terbukti: Julian mewarisi kegilaan Silvios.

***
Selesai ditulis pada 22 April 2022.

***
Cerita yang lain menyusul setelah Celine tamat! Pleaseeeeee saya sedang dalam fase mager dan ingin berubah jadi Ultraman atau Godzilla! 😭

Salam hangat,

G.C

Survive as Hero's Mother  (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang