4

10.5K 2K 71
                                    

Pertemuan antara aku dan Oscar berakhir usai makan malam. Semenjak di kedai, aku tidak bertemu ataupun berpapasan dengan Oscar. Itulah yang aku harapkan. Lagi pula, tidak ada gunanya menjalin hubungan antara tokoh jahat dan karakter baik. Dia akan menjadi pembuka jalan bagi kedua tokoh utama bertemu dan aku akan melanjutkan hidup sebagai penyihir mapan dan kaya raya! Namun, suatu hari Oscar mendatangi Akademi Marwen, akademi penyihir, dan bertanya ke bagian administrasi mengenai salah satu murid berambut hijau, yakni AKU.

Tentu saja petugas administrasi dengan enteng menyebutkan sejumlah nama anak lelaki berambut hijau dan seorang anak gadis berambut hijau, yakni AKU. Di akademi hanya aku seorang yang berambut hijau!

Jantung seolah melompat ke tenggorokkan begitu salah satu murid memanggil, memintaku menuju bagian administrasi, dan menjumpai Oscar.

Dia terlihat bersih dan rapi. Tidak seperti kali terakhir yang didominasi oleh luka fisik, harga diri hancur, dan seragam kotor.

“Halo,” katanya sembari menyunggingkan seulas senyum. Rambutnya dikucir ekor kuda, berayun pelan mengikuti gerakan leher. “Celine Green?”

Green. Nama yang aku pilih berdasarkan warna rambut Celine. Di dunia ini tentu saja bahasa dari duniaku bukan hal lumrah. Di sini masyarakat memakai bahasa tertentu, tergantung asal daerah dan kelas sosial. Oh ya, anak dari panti asuhan boleh memilih nama belakang mereka. Bagiku, Green.

“Kenapa?”

“Aku mampir,” Oscar mendengus. Dia mengedarkan pandang, menatap lukisan Penyihir Marwen yang tergantung di dinding, lalu selintas keningnya berkerut ketika ada siswi yang tersipu melihatnya. “Kau tidak bersedia memberi tahu namamu.”

“Itu artinya aku tidak ingin bertemu lagi denganmu.” Aku berjalan cepat, mencoba menutup jarak di antara kami. “Seharusnya kau fokus ke pelajaran dan latihanmu! Kenapa kau ke sini sih?”

Oscar merapikan anak rambut dan menyelipkannya di belakang telinga. “Sesama teman, kan, harus saling bertukar kabar.”

Asamnya perasaan ini. “Begini, dengarkan baik-baik,” kataku sembari menunjuk dada Oscar. “Bukan hanya dirimu,” kataku sambil menunjuk seluruh ruangan. “Melainkan semua anak yang sedang mengalami perundungan, bila aku tahu, pasti akan aku selamatkan. Jadi, kau tidak is-ti-me-wa.”

Tindakan merendahkan orang lain bukan perkara sepele. Perundungan bisa menyebabkan trauma berkepanjangan dan krisis percaya diri. Sebagai salah satu orang yang pernah mencicipi pahitnya perundungan, dengan tegas aku akan melawan siapa pun yang bersikap JAHANAM!

‘Wahai ayah heroine, abaikan aku. Abaikan.’

“Kau tidak ingin berteman denganku?”

Ekspresi Oscar tampak terluka, seolah aku baru saja menamparnya berkali-kali.

“Pengalamanku dalam pertemanan amat buruk,” ujarku sembari menyembunyikan tangan di belakang pinggang. Aku mencoba mengalihkan pandang pada jendela, siswi yang sibuk memelototi seorang siswa, petugas pemeriksa catatan; apa pun selain Oscar. “Biasanya aku menjadi pihak yang ditinggalkan. Selalu begitu. Jadi, lebih baik aku tidak punya teman saja.”

Tentu saja ini bukan pengalaman Celine. Di kehidupan modern aku selalu menjadi pihak yang tidak dibutuhkan dalam pertemanan. Biasanya orang datang kepadaku di kala butuh saja, persis oknum yang ingin utang. Menjadi orang yang selalu menduduki posisi tidak penting, dan berkali-kali, membuat hatiku jadi keras seperti batu.

“Lagi pula,” kataku melanjutkan. “Menolong orang, kan, tidak harus ada tujuan tertentu. Sekadar menolong. Itu saja.”

“Seharusnya ketika berucap kau melihat lawan bicaramu.”

Survive as Hero's Mother  (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang