9

8.5K 2.1K 83
                                    

Air mata terasa menyengat, membuatku kesulitan melihat. Namun, bahkan setelah menangis tersedu pun perasaan terluka dan tersakiti dalam diriku tak kunjung reda. Seolah ada sayatan, menganga, dan terus mengucurkan darah tanpa henti. 

Berkali-kali aku menyeka air mata menggunakan lengan baju, mengeringkan tetes kesedihan, dan berharap suasana hatiku lekas membaik. Sayang air mata terus saja menetes dan membuatku tersengal.

Aku berhenti, mencoba mengendalikan pernapasan, lantas kembali tersedu sembari membungkuk. Perlahan aku duduk berjongkok, membenamkan wajah di antara lutut sembari mencengkeram kepala.

Rasanya aku ingin menghajar Julian! Memukulnya hingga babak belur.

Lantas aku merasa ada sesuatu yang menarik rambutku. Perlahan aku mendongak, menatap seekor burung hijau yang berkicau di hadapanku.

“Gweny!”

Gweny langsung terbang dan mendarat di telapak tanganku. Dia berkicau lirih, nadanya terdengar memilukan.

“Bagaimana bisa kau menemukanku?”

Takut-takut, aku memperhatikan sekitar; pohon-pohon berbentuk aneh dengan buah berwarna pelangi, hamparan bunga mungil berwarna putih, sekumpulan jamur raksasa.

Tidak ada Julian.

“Aku ingin kembali ke Kota Zel,” kataku kepada Gweny. Tenggorokkanku terasa sakit. Bahkan suara yang terlontar dari dalam mulutku pun terdengar serak. “Aku tidak mau ... bantu aku, Gweny.”

Gweny lantas terbang dan kembali beberapa saat kemudian bersama kawannya.

Pegasus.

Dia memiliki bulu berwarna putih dan pada bagian surai dan sayap, warna hijau dan biru silih berganti menghiasi tubuh. Sekumpulan kelopak bunga mungil menghias surainya. Bunga-bunga itu menguarkan aroma harum. Dia menunduk, menjilati pipiku seolah ingin menenangkan. Cara itu cukup membantu meredakan luapan kemarahan dan kekecewaan yang silih berganti mengisi hati.

Pegasus itu membungkuk, membiarkanku naik. Saat aku hendak naik, rasa sakit di paha dan pinggang silih berganti menyengat. Meski begitu, aku tidak peduli dan memaksakan diri bertahan. Gweny beristirahat di kepalaku, berkicau lirih seolah berkata, “Tenanglah, aku bersamamu.” Kemudian kami mengudara.

Sembari memeluk leher pegasus, aku kembali menangis. Angin membuat sekujur tubuhku dilanda pedih, terutama bahu.

Rasa sakit tidak bertahan lama.

Cahaya hijau menyelubungi tubuh, membuatku merasa nyaman dan aman. Perlahan aku dikuasai rasa kantuk dan lelap. Bangun ketika pegasus sampai di depan tempat tinggalku.

Aku tidak peduli pada keterkejutan orang-orang ketika menyaksikan seekor pegasus, hewan langka yang jarang memperlihatkan diri, muncul di pemukiman padat penduduk.

Kepada pegasus aku berkata, “Maukah kau menunggu? Aku ingin mengambil beberapa barang dan ... tolong antar aku ke suatu tempat?”

Pegasus mendengus, kemudian menjilati wajahku. Setuju.

Aku dan Gweny langsung naik ke lantai dua, bahkan mengabaikan kehadiran tetangga ketika bertanya, “Celine, kapan kau membantuku mengobati kebotakan?” Si tuan satu ini, paman yang berpikir penyihir sama saja dengan peramu ataupun penyembuh, menganggap aku bisa menyelesaikan perkara hidup miliknya. Gweny langsung mencicit marah dan menyerang tetanggaku.

“Celine, kendalikan peliharan-aw! Jangan tarik rambutku!”

Setelah membuka pintu menggunakan kunci yang aku sembunyikan di bawah pot bunga, aku masuk dan mengambil tas lantas memasukkan pakaian, uang, toples berisi roti kering, peta, dan sejumlah catatan. Sisanya aku tinggalkan begitu saja. Begitu aku selesai dan mengunci pintu, Gweny menyambutku.

“Celine!” teriak paman tetangga di balik pintu. “Aku akan mengajukan tuntutan!”

Alih-alih menjawab, aku meraih beberapa keping koin dan meletakkannya di depan pintu kamar si paman.

Segera aku menuruni tangga dan menghampiri pegasus. “Bawa aku pergi ke tempat aman.”

Gweny melesat ke dalam saku bajuku dan berdiam di sana. Aku naik ke punggung pegasus sembari menggendong tas dan kami pun siap.

“Selamat tinggal,” kataku kepada Kota Zel.

***

Sama seperti sebelumnya, begitu aku berada di punggung pegasus rasa kantuk menguasai. Barangkali pegasus ini berusaha menyembuhkan keletihanku dengan sihir miliknya.

Kami tiba di sebuah hutan, hutan normal; tidak ada tanaman berwarna mencolok, tidak ada jamur raksasa, dan juga semoga tidak ada makhluk ganas.

Aku meraih peta dari dalam tas dan membentangkannya di hadapan pegasus. “Ada di mana?”

Pegasus mendengih dan menjilat peta.

Lekas aku mengecek petunjuk dari pegasus. Hutan Somu. Tepatnya kami berada di Provinsi Zala.

“Aku butuh tempat bernanung,” kataku kepada pegasus dan Gweny yang bertengger di kepala pegasus. “Sesakti apa pun diriku, mana mungkin aku bisa membangun rumah?”

Pegasus mengepakkan sayap sembari meringkik.

Tidak lama kemudian tiga orang pria muncul menjawab panggilan pegasus. Mereka semua memiliki warna rambut cerah; kuning, hijau muda, dan merah muda. Semuanya mengenakan toga putih berhias tanaman dan bunga ... dan semuanya memiliki sayap kupu-kupu!

“Hei, Pegasus. Kenapa kau bisa memanggil peri?”

Pegasus meringkik seolah memberi komando.

Sontak ketiga pria bersayap kupu-kupu langsung memanggil bala bantuan. Mereka memimpin sosok bersayap lain yang seperti anak-anak, sementara yang lain memanggil binatang bersayap. Bahu-membahu mereka mengumpulkan batu, kayu, dan mulai bekerja; membuat fondasi, tiang, lalu ketika sempurna fondasi mulailah membuat atap, lantai....

Semuanya dilakukan secara cepat dan efisien.

Gweny bercicit riang dan menggosokkan kepala ke wajahku. “Tenanglah,” begitulah mungkin yang ia katakan kepadaku.

Salah satu sosok bersayap mengentak tanah, membuat lubang, kemudian satu per satu makhluk bersayap memasukkan batu hingga terciptalah sumur. Timba dipasang, air mengalir jernih.

Para makhluk mungil bersayap mendorong pelan punggungku, membimbingku masuk.

Tidak hanya lantai kayu, mereka pun mempersiapkan dapur, furnitur, kamar, ranjang, bahkan perlengkapan memasak. Kompor yang seperti ada di Kota Zel pun telah tersedia. Beberapa gadis bersayap memperlihatkan sederet pakaian indah dalam beragam model lengkap dengan sepatu.

Air mata kembali mengalir tanpa bisa aku cegah.

Gweny kembali menggosokkan kepala ke wajahku, menenangkanku.

“Terima kasih,” kataku. “Terima kasih atas segalanya.”

Terdengar tangis baru, semua makhluk yang menolongku ikut menangis seolah kesedihan yang aku rasakan pun milik mereka.

Aku tidak mengerti alasan Gweny dan makhluk-makhluk ini menolongku. Namun, dari dalam lubuk hati terdalam, aku merasa senang sekaligus sedih.

“Gweny, terima kasih!”

***
Selesai ditulis pada 24 Februari 2022.

***

:”) Bentar, dedek belum dapat jatah tayang.

Salam hangat,

G.C

Survive as Hero's Mother  (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang